Pendukung Liverpool di belahan dunia manapun mulai cemas, pertandingan mendekati akhir namun tanda-tanda kemenangan belum muncul. Ya, hasil imbang hanya akan membuat asa Liverpool untuk ke Liga Champions musim depan semakin berat.Â
Sepak pojok semenit menjelang pertandingan usai, seperti biasa Trent bersiap dan diantara kita sudah ada yang bersiap mematikan televisi, membanting remote, atau malah sudah ketiduran karena dari tadi bola muter-muter di tengah seperti yang terjadi sepanjang musim. Namun seperti mendapat firman Tuhan, sesosok berseragam beda mendekati gawang lawan, ya itu kiper, beneran kiper, betulan.Â
Salah gawang? Biarkan saja paling juga tidak bisa menyentuh bola, salah oper, meleset, atau paling parah kebobolan kena serangan balik, kemudian esoknya kami akan ditertawakan pendukung sebelah. Ditertawakan lebih sedih timbang kalah taruhan.
Alisson seolah menjadi magnet, lompatan tinggi dan boom! bola masuk. Seperti mimpi, penyerang-penyerang kebingungan mencari gawang, umpan-umpan Thiago dianggap hanya memperlambat tempo, atau istilah kapten backpass mulai sering digunakan lagi, seorang kiper mengajarkan bagaimana cara pencetak gol.Â
Maka ketika keajaiban itu tiba, umpan Trent begitu halus, kepala
Seribu pelukan Mohammed Salah pun tak akan cukup menggambarkan betapa emosionalnya gol tersebut. Liverpool mulai membangun mimpi-mimpi kembali di dua pertandingan sisa, mimpi di dua pertandingan sisa melawan tim yang di atas kertas bisa dikalahkan.Â
Seperti juga pertama membangun mimpi di Desember 2015 juga ketika melawan West Brom, merayakan hasil 2-2 melawan tim kecil seolah olah adalah aib. Tapi buat kami siapa peduli. Yang penting lepas dari bayang-bayang pemain terbaik macam Balotelli, Borini, Andy Carrol, siapa lagi yang terkenal?
Yap, cinta untuk Liverpool dibangun diatas mimpi-mimpi, termasuk mimpi buruk. Dua pertandingan sisa, meski katanya melawan tim kecil akan membuat kita mengingat mimpi buruk Gerrard ketika terpeleset menjelang akhir musim 2014 dan tiba-tiba gelar melayang begitu saja ketika kita sudah hampir bersiap-siap merayakan kemenangan.Â
Atau ke belakang lagi di akhir-akhir musim Owen, pasukan Gerrard Houllier akrab dengan hasil imbang melawan tim-tim kecil. Ah, sudahlah, mengingatnya hanya akan membuat kita sakit.
Lebih baik kita mengingat mimpi Istanbul, siapa sangka setelah Milan unggul 3-0 di sebuah pertandingan final, kemudian magis itu datang. Setelah gol balasan kedua dan sang kapten merayakannya dengan mengangkat kedua tangan untuk menyemangati timnya, moral tim terangkat dan gol ketiga datang untuk meruntuhkan harapan lawan. Dan ketika adu penalti, mental pemain sekelas Pirlo pun sudah hancur di depan goyangan Dudek.Â
Kelak dua tahun kemudian ketika di final menghadapi lawan yang sama, gerakan tangan kapten Gerrard menyemangati timnya di perayaan gol balasan 1-2 Liverpool cukup membuat Milanisti senam jantung sampai menit akhir.Â
Tapi namanya mimpi, tak semua harapan menjadi kenyataan, tak cukup semangat, usaha, keberuntungan, kadang memang berusaha sekeras apapun hidup tak selalu bisa mengulang yang manis.