Mohon tunggu...
Ginanjar Indrajati Bintoro
Ginanjar Indrajati Bintoro Mohon Tunggu... -

A Young writer, a student of West Asia Literature program at Gadjah Mada University.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Noda dalam Pendaftaran CPNS

14 Desember 2010   03:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:45 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: tribunnews.com

[caption id="" align="alignleft" width="127" caption="sumber ilustrasi: tribunnews.com"][/caption]

oleh: Ginanjar Indrajati Bintoro*

Beberapa waktu yang lalu, penulis mendapat cerita dari salah seorang kawan yang akan mendaftarkan dirinya menjadi PNS. Beliau bercerita bahwa tes seleksi yang akan dilakukannya hanyalah formalitas semata karena orang tuanya adalah orang yang cukup terpandang di daerahnya. Dengan peran ayahnya yang besar tersebut, ia  akan mudah masuk PNS, tentu lewat jalur nepotisme. Sangat disayangkan, beliau bercerita dengan senyum manis, seolah itu bukanlah aib.

Itulah salah satu contoh kepribadian sebagian anak bangsa kita. Sebagai rakyat biasa yang hanya berprofesi sebagai pedagang pulsa, penulis demikian prihatin melihat banyak orang bertitel sarjana tidak memiliki integritas dalam berkehidupan. Sayangnya, banyak masyarakat pun menganggap itu adalah hal yang lumrah. Sebagai contoh, banyak kerabat, orang tua, kawan, dan tetangga akan ikut bangga jika kita diterima di suatu perusahaan atau instansi pemerintah dengan gaji besar. Lihat saja, jika gaji kita besar, mereka tidak akan mempertanyakan apa pekerjaan kita. Yang penting cari kerja, punya uang, dan menikah. Akhirnya, banyak idealisme runtuh karena godaan harta (baca: gaji besar) ditambah dorongan kerabat dan relasi agar kita segera berduit. Keimanan telah berkurang. Orang tua tidak lagi mengingatkan anak terhadap perkara halal dan haram.

Dorongan orang tua agar anak maju, tidak disertai dengan pendidikan antikorupsi sejak dini. Padahal, banyak cara bisa dilakukan, mulai dengan menyelipkan nilai-nilai kejujuran di saat mengajarkan dasar agama, sampai mengajari anak untuk fair ketika sedang menghadapi masalah dengan teman sebayanya. Sebagai contoh, ketika melihat anak membawa mainan baru yang tidak dikenali orang tua, harusnya orang tua bertanya darimana asal mainan tersebut. Jika si anak mengambil mainan temannya, dengan tanggap orang tua harus memerintah anak untuk mengembalikan mainan tersebut kepada pemiliknya. Meskipun terlihat sepele, hal ini akan menanamkan benih integritas kepada anak. Anak akan terbiasa fair dengan orang lain.

Jika orang tua malah memberikan contoh buruk pada anak, seperti kasus orang tua kawan saya di atas, jangan heran jika bangsa ini nanti akan diisi generasi penerus yang gemar suap-menyuap. Kawan saya dulunya tidak tertarik jadi PNS. Seolah memiliki prinsip pengusaha sejati, ia tidak mau cari kerja jadi “budak” (baca: pegawai bagi orang lain), tetapi ingin membuat usaha sendiri sampai menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Namun, idealisme itu runtuh karena desakan kuat orang tua agar dirinya menjadi PNS saja. Apalagi, orang tua akan melakukan segala cara agar tujuannya tercapai. Sangat disayangkan harus dengan bumbu nepotisme.

Melawan Pesimisme

Ketika saya bertanya kepada kawan saya tersebut, “Anda mau daftar CPNS dengan cara seperti itu?” Beliau justru menjawab, “Ah... di sana, perbuatan itu sudah biasa. Kalau tidak dengan itu, segala hal akan terasa susah”.

Meskipun dalam perbincangan, kawan saya ini tampak tidak sreg dengan perbuatan kotor, namun sangat jelas terlihat sikap pesimis dari kata-katanya. Seolah-olah, kita harus menyerah kepada keadaan dan ikut saja arus yang sudah berjalan.

Itulah penyakit kronis yang harus kita basmi bersama. KKN sebagai extraordinary crime harus dilawan dengan keberanian dan ketegasan. Kalau kita terus menerus menyerah kepada keadaan, sampai kapan negeri ini bisa berubah?

Maka, jika pihak yang bersangkutan tersindir dengan kata-kata saya, ketahuilah bahwa ini karena saya mencintai Anda sebagai saudara. Saya tidak ingin Anda dipenjara karena dalam pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 disebutkan bahwa setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya ... bisa dipidana penjara lima tahun dan denda dua ratus lima puluh juta rupiah.

Di sisi lain, di hati yang terdalam, saya sendiri masih ragu apabila nepotisme akan membuahkan hasil dalam seleksi PNS saat ini yang mulai lebih transparan. Maka, daripada nanti tujuan tidak tercapai, apalagi dengan melakukan dosa, lebih baik lakukan hal yang tidak melanggar hukum saja.

Sinergi Pemerintah Pusat dan Dukungan Masyarakat

Di samping cerita di atas, ada juga cerita menarik yang penulis dapatkan dari pengalaman pribadi seorang PNS. PNS satu ini berasal dari luar pulau yang mendapat tugas menimba ilmu S2 di Universitas Gajah Mada. Bermula dari perkenalan dan bincang-bincang ringan di warung angkringan malam Jogja, pembicaraan beralih ke permasalahan pribadi beliau.

Awalnya, beliau bercerita bahwa dirinya sangat terkesan dengan para dosen pascasarjana UGM -khususnya yang mengajar beliau- tampak cerdas, berintegritas dan religius. Beliau sampai berceletuk tentang dosen-dosennya kurang lebih sebagai berikut, “Heran, banyak orang pintar yang tidak dipakai di negeri ini. Negara kita telah banyak dikuasai orang yang hanya pandai berolah kata”. Beliau lalu membandingkan dosen-dosennya dengan para birokrat di daerahnya.

Beliau juga bercerita bahwa di daerah asalnya, budaya korupsi demikian mengakar kuat. Untuk mendaftar jadi PNS saja, beliau sudah diberi penawaran sekian juta agar bisa lolos. Untuk pendaftaran pertama, dirinya gagal karena uangnya masih kurang sekian juta, masih kalah banyak dengan kompetitor lain. Kemudian, karena tidak tahan diperas, beliau banting setir untuk tidak akan menyuap lagi dalam tes tahun berikutnya. Tentu saja karena tidak menyuap, ia tidak lolos jadi PNS. Beliau tidak menyerah dan mendaftar lagi pada periode berikutnya, dan tidak lolos lagi. Sampai akhirnya ada perubahan sistem penerimaan PNS dari pemerintah pusat. Itulah akhirnya, pada tes kali ini beliau bisa lolos.

Dari cerita ini, kita harus melihat bahwa kesungguhan pemerintah pusat untuk memberantas korupsi janganlah serta merta kita anggap sebagai politik pencitraan. Janganlah kita terus menerus berprasangka buruk pada pemerintah kita. Kita harus berupaya agar pemerintah RI tetap berwibawa di mata rakyat dan dunia internasional. Rakyat harus cerdas, tidak termakan perkataan politikus yang pekerjaannya hanya mencari celah untuk mengkritik, yang ujung-ujungnya adalah menurunkan wibawa pemerintah di mata rakyatnya sendiri. Jangan sampai kita termakan mereka yang berdalih memperjuangkan nasib grass root. Meskipun sebagai rakyat biasa, jangan mau kita terus menerus dikatakan grass root. Ketahuilah, sedikit rakyat yang berpikiran maju lebih baik daripada banyak, tetapi tidak mau berpikir. Hati-hatilah karena jumlah yang banyak itu bisa jadi korban politikus yang sekadar mencari suara grass root. Kita harus membiasakan otak kita berpikir ilmiah agar logika kita bisa membedakan, mana tokoh negara kita yang berjuang, dan mana yang hanya bersilat lidah.

Untuk para politikus, ketahuilah bahwa kini tukang becak pun ada yang bisa berbahasa Inggris. Pedagang pulsa pun mudah mengakses informasi dari berbagai bidang ilmu di internet. Maka, jangan asal bunyi di berbagai forum karena Anda akan terlihat bodoh di mata rakyat. Jika Anda ingin mengkritik, berilah contoh kepada kami cara-cara yang elegan, santun, cerdas, dan menunjukkan bahwa Anda orang yang bertakwa kepada Allah.

Adapun kita, rakyat biasa, tidak boleh hanya menuntut pemerintah bebas KKN, sedangkan perilaku korup masih membudaya dalam keseharian kita. Sudah saatnya kita memulai dari diri kita sendiri untuk bersikap hidup bersih. Kita tentu ingat bahwa dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN di Bab VI Pasal 8, disebutkan bahwa masyarakat berhak dan bertanggung jawab untuk ikut mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih. Maka, sebagai warga negara, kita wajib untuk taat pada aturan tersebut dengan ikut andil dalam pemberantasan korupsi. Memberantas korupsi, tidak harus ikut lembaga antikorupsi, tidak harus pula bertitel sarjana. Memberantas korupsi bisa dilakukan dari hal-hal yang sederhana, seperti menolak tawaran untuk menyuap atau disuap.

Kemudian, bagi para pegawai, jiwa pengorbanan untuk melayani masyarakat harus ditumbuhkan. Bukan malah ingin selalu dilayani. Tidak sedikit pegawai, apalagi jika sebagai atasan, selalu ingin mendapat perhatian dan pelayanan orang lain. Inilah penghambat reformasi birokrasi yang sesungguhnya. Tanpa perbaikan dan peningkatan pelayanan publik, seluruh upaya reformasi birokrasi tiada artinya lagi. Benar kata sebagian ahli, Repressive action is not everything, but the public service is the key.

* Warga negara biasa asal Magelang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun