Menurut Center of Disease Control and Prevention, vaksin pada hakikatnya adalah suatu produk yang memicu sistem kekebalan tubuh seseorang terhadap suatu penyakit tertentu. Vaksin biasanya diberikan melalui jarum suntik atau terkadang menggunakan semprotan ke rongga hidung maupun mulut. Tujuan utama dari pemberian vaksin adalah melindungi manusia pemakainya dari penyakit yang ditargetkan.(1)
Dewasa ini, vaksin menjadi sebuah terobosan di dunia kedokteran yang penuh dengan kontroversi. Banyak golongan masyarakat yang menolak atau kontra dengan penggunaan vaksin, tetapi juga ada yang mendukung sekaligus menggalakkannya. Pihak yang pro terhadap penggunaan vaksin tentu saja berasal dari golongan kedokteran dan pemerintah.Â
Di lain pihak, tim kontra biasanya berasal dari golongan masyarakat biasa ataupun public figure. Mereka biasanya memperdebatkan mengenai berbagai teori atau yang lebih tepat disebut mitos untuk saat ini mengenai bahaya penggunaan vaksin. Tudingan-tudingan tersebut telah menyebar ke seluruh dunia baik melalui media cetak, lisan, ataupun sosial. Kebenaran mengenai mitos tersebut perlu untuk ditinjau baik secara medis maupun keilmihannya untuk menghindari berbagai berita bohong yang menggiring opini masyarakat.Â
Pertama, teori bahwa penggunaan vaksin dapat menyebabkan autisme. Sebelum itu, American Psychiatric Association mendefinisikan autisme atau Autism Spectrum Disoder (ASD) sebagai kondisi perkembangan yang memberi kesulitan kepada orang penderitanya untuk berinteraksi dengan sesama, berbicara dan berkomunikasi secara non verbal, dan tindakan yang bersifat perulangan.(2) Teori vaksin dapat menyebabkan autisme adalah mitos. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Luke A. Taylor, Amy L. Swerdfeger, dan Guy D. Eslick di Whiteley-Martin Research Center, University of Sydney. Dari 1.256.407 anak-anak, mereka menemukan bahwa tidak ada hubungan antara vaksin, komponen vaksin (thimerosal dan merkuri), ataupun vaksin ganda seperti MMR (Measles, Mumps, Rubella) terhadap autisme.(3)
Kedua, pendapat bahwa cara kerja sistem imun tubuh secara natural jauh lebih baik dibandingkan dipicu oleh vaksin. Pendapat ini merupakan mitos yang didukung oleh golongan anti vaksin. Menurut Public Health, vaksin bekerja dengan mempertemukan antigen milik patogen kepada tubuh untuk membuat sistem imun menjadi aktif. Sistem imun akan secara perlahan mengenal antigen dan berlatih melawan patogen tersebut. Ingatan ini akan disimpan oleh sistem imun, kemudian dengan segera mempelajari struktur antigen itu dan berusaha membuat antibodi.Â
Jika di suatu ketika manusia terkena patogen yang sebenarnya maka tubuh kita sudah memiliki pasokan antibodi yang spesifik terhadap ancaman tersebut.(4) Perbedaan antara cara kerja sistem imun tubuh secara natural dan penggunaan vaksin hanya berbeda pada tahap perkenalan antigen ini saja. Dengan pertimbangangan bahwa antigen bukanlah wujud utuh dari patogen, seharusnya sistem tubuh akan lebih mudah melawannya karena lebih lemah. Cara kerja sistem imun tubuh secara natural justru memiliki potensi yang lebih besar untuk kalah karena patogen dalam kemampuan maksimalnya.Â
Ketiga, mitos mengenai vaksin mengadung senyawa yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Hal tersebut tentu merupakan argumen yang sangat salah. Vaccines.gov yang berada di bawah naungan US Department of Health and Services (HHS) menjelaskan bahwa vaksin terdiri dari antigen dan adjuvant. Adjuvant adalah senyawa yang membuat respon sistem imun manusia menjadi lebih kuat, sontohnya aluminium.Â
Selain itu, di dalam vaksin juga terdapat bahan pengawet (thimerosal) dan penstabil (gula atau gelatin). Kabar yang paling sering didengarkan yaitu tentang thimerosal, aluminium , dan formaldehid yang memberi dampak buruk pada tubuh. Thimerosal diduga menyebabkan tubuh kercunan merkuri. Hal ini tidak tepat karena thimerosal hanya mengandung gugus etil merkuri, sedangkan yang dapat berisiko berbahaya yaitu metil merkuri.Â
Di samping itu, aluminium juga bukan merupakan senyawa yang berbahaya agi tubuh karena hanya digunakan dengan kadar yang sangat sedikit. Begitupun dengan formaldehid yang diberikan dalam jumlah yang sangat sedikit dan tentu saja tidak membahayakan. Ditambah lagi, formaldehid sudah ada dalam tubuh manusia secara alami dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan di dalam vaksin.(5)
Kaum yang bergerak di golongan anti vaksin tidak seharusnya langsung dapat dipercayai sebelum melakukan penelitian ilmiah di dunia Kedokteran. Hal ini berarti berbagai penjelasan yang baik sebaiknya disampaikan ke masyarakat lainnya sesuai metode ilmiah. Cara yang paling tepat dalam menerima informasi yang masih simpang siur adalah mengecek berbagai jurnal dan penelitian yang mendudukung kebenarannya. Dengan demikian, kebiasaan baik tersebut akan terbangun dengan sendirinya menjadi sebuah sikap kritis.Â
Referensi:Â