Selamat sore sahabat-sahabat Kompasiana, semoga hari ini Anda semua sehat wal a’fiat sehingga Anda bisa terus berkarya dan membangun bangsa ini. Tentunya dalam masa Pilpres seperti saat ini kebanyakan artikel di Kompasiana memuat tentang berita pemilu, ada yang pro terhadap calon presiden nomor urut satu dan lainnya pro terhadap calon presiden nomor urut dua dengan segala cacian antar kedua pendukung capres. Ah, itu adalah hal yang biasa, namanya juga proses pendewasaan dalam berdemokrasi. Tapi jujur saya agak bosan berlama-lama membaca berita tentang Pilpres, saya ingin mengulas topik lain yang mungkin saja sahabat-sahabat Kompasiana tertarik untuk menyimaknya.
Saya akan membahas tentang sistem adat pada masyarakat adat Lampung, kebetulan saya sebagai penulis adalah penutur asli Bahasa Lampung dan masih tinggal dalam lingkungan adat Lampung, walau terkadang mesti diakui bahwa adat ini juga perlahan mulai ditinggalkan generasi mudanya. Dalam lingkungan adat kesukuan, tentunya adalah hal yang lumrah bila kita sering menemui sistem pengaturan kekuasaan, ada beberapa tokoh dalam suku tersebut yang dimuliakan atau di “tua”-kan. Anda juga pastinya sering mendengar bila setiap suku hampir pasti memiliki ketua adat, ada yang diberi gelar kebangsawanan dan lain-lain. Sama halnya dengan suku lainnya di dunia, masyarakat adat Lampung juga mengadopsi sistem kekuasaan seperti yang diterangkan diatas. Dalam tulisan ini saya akan memaparkan tentang pemberian gelar “Kakhya” dalam masyarakat adat Lampung dan kekuasaan apa saja yang berhak diperoleh bagi seseorang yang diberi gelar Kakhya tersebut.
Dalam masyarakat adat Lampung, terutama bagi saya yang tinggal dilingkungan masyarakat adat Lampung Pesisekh, pemberian gelar kebangsawanan kepada seseorang adalah hal yang lumrah. Sedikit gambaran, gelar Kakhya hampir setara dengan pemimpin klan dalam satu suku, dan Anda bisa juga mengasosiasikannya dengan gelar kebangsawanan pada suatu suku. Biasanya, dalam satu desa, orang yang bergelar Kakhya bisa sampai 3 atau 4 orang dan masing-masing Kakhya memiliki tingkat pengaruh tinggi terhadap kelompok Kakhya yang ia pegang. Bila Anda seorang Kakhya, maka Anda akan mendapat posisi istimewa dalam masyarakat adat, seperti ketika ada rapat adat, Anda yang seorang Kakhya memiliki hak untuk menentukan keputusan terakhir dalam rapat, atau ambillah kata yang lebih keren seperti hak veto. Jadi, bila ada 5 Kakhya yang rapat dan sudah menentukan hasil akhirnya, bila ada 1 Kakhya didalamnya yang tak setuju, maka hasil akhir rapat tersebut bisa saja batal atau, disetujui namun kelompok Kakhya yang tak setuju berhak untuk tidak melaksanakan hasil rapat tersebut.
Gelar Kakhya bisa berpindah tangan, dari orang satu ke orang lainnya. Dizaman dahulu, gelar Kakhya dianggap sebagai gelar kebangsaan yang patut dihormati, maka tak heran banyak yang berebut untuk mendapatkan gelar tersebut kendatipun untuk mendapatkannya, Anda yang masyarakat biasa mesti mengeluarkan kocek yang tak sedikit. Bila Anda ingin mendapatkan gelar Kakhya, Anda setidaknya harus menyediakan 2 kerbau atau lebih dan harus melalui proses negosiasi yang lama hingga akhirnya Anda disetujui untuk mendapatkan gelar tersebut. Sebenarnya tak harus berupa hewan ternak, terkadang persyaratan pembelian gelar tersebut bisa berupa benda tak bergerak seperti tanah, kebun atau harta benda berharga lainnya. Juga, itu tergantung kemauan yang memiliki gelar, bila ada orang yang menawarinya untuk membeli gelar Kakhya-nya, maka si Kakhya berhak menentukan berapa besaran syaratnya, bisa saja lebih besar atau lebih kecil dari perkiraan si pembeli Kakhya. Disinilah pentingnya kemampuan dalam bernegosiasi bagi si pembeli gelar Kakhya. Nah, bila gelar Kakhya Anda sudah resmi dibeli dan berpindah tangan, maka hilanglah gelar Anda sebagai Kakhya tersebut, Anda akan diposisikan setara dengan masyarakat biasa dan segala keistimewaan Anda dalam sistem adat saat itu juga dihapus.
Biasanya, setiap Kakhya membawahi sedikitnya 10 kepala keluarga. Setiap kepala keluarga yang masuk dalam kelompok Kakhya tertentu mesti tunduk pada perintah si Kakhya, dan biasanya proses perekrutan anggota Kakhya ini dilakukan secara sukarela. Jadi, bila Anda agak kurang suka dengan Kakhya tertentu, Anda sebagai masyarakat biasa berhak untuk ikut kelompok Kakhya lainnya, tak ada unsur paksaan.
Sampai saat ini, walau gelar Kakhya sudah dipandang tak terlalu berperan penting dalam sistem pemerintahan di desa, para Kakhya tersebut tetap memiliki hak istimewanya, apalagi menjelang pemilihan kepala desa, para Kakhya ini yang notabene memiliki masa yang lumayan banyak selalu didekati oleh calon Kades supaya mendapat dukungan. Disinilah uniknya sistem Kakhya ini, ternyata sistem Kakhya ini juga sejalan dengan ide demokrasi dimana setiap Kakhya berhak untuk menjalin koalisi dengan Kakhya lain untuk memenangkan calon kepala desa yang didukungnya. Jadi, kalau dalam satu desa ada 2 calon kepala desa, maka desa tersebut akan terbelah menjadi dua koalisi yaitu koalisi kakhya dari calon kades nomor urut satu versus koalisi kakhya dari calon kades nomor urut dua. Gesekan kepentingan tentunya adalah hal yang biasa dalam dunia politik, apalagi dalam politik kampung, namun sesudah pemilu kades selesai, semua orang kembali damai dan tak ada hal-hal yang buruk terjadi selama, atau pasca pemilihan.
Sekian dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H