Mohon tunggu...
Indra Gumilar
Indra Gumilar Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengamat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

212 Kehilangan Kesaktiannya

3 Desember 2021   18:15 Diperbarui: 14 Desember 2021   22:30 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kembali kita disajikan suatu ajang bernuansa islamis fundamentalis tipis yang dikenal dengan aksi 212. Sebuah aksi yang sempat fenomenal dan hampir merebut hati semua umat muslim Indonesia khusunya mereka yang memiliki kecenderungan menegakkan amar ma'ruf nahi munkar secara total. 

Mereka meyakini bahwa yang benar harus dibela dan yang salah harus diluruskan. Keyakinan mereka ini secara cerdik tidak dapat dipungkiri karena sosok Habib Rizieq Shihab sebagai tokoh kharismatik dibalik aksi ini, dan ada juga tokoh ulama lainnya seperti Habib Hanif Al-Atthos, KH. Sobri Lubis, Alm.KH. Arifin Ilham, Habib Bahar Smith dan tokoh ulama lainnya yang ikut andil dalam aksi 212 tersebut hingga menjadi populer hingga di dunia internasional.

Meski aksi 212 tahun 2021 sudah tidak dimeriahkan sejumlah tokoh populer seperti diatas dan bahkan bisa dibilang gagal karena tidak terlaksana. Diskusi pembahasan aksi 212 selalu menarik diikuti karena selain menyangkut kebangkitan pemikiran Islam tapi juga menyangkut solidaritas universal seluruh umat muslim sedunia. 

Pada awalnya basis perlawanan dari aksi 212 ini adalah menuntut keadilan atas penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta saat itu dan dari situlah memantik semangat umat muslim bergerak untuk menuntut keadilan sekaligus menjadi teladan umat muslim lainnya di seluruh dunia. Kini kondisinya berubah karena aksi 212 sudah tidak memiliki isu krusial untuk mereka bawa dan perjuangkan sehingga gerakan ini kehilangan eksistensi untuk tampil di muka publik.

Memang kelompok alumni 212 ini adalah orang yang kritis dan kontra terhadap pemerintah. Mereka masih berjuang menyuarakan aspirasi rakyat kecil khususnya dari segmen umat muslim yang selama ini kerap dijadikan obyek penindasan struktural maupun kultural. 

Tetapi daya kuasa dari aksi 212 kini sudah tidak menjadi gelombang dominan yang membentuk arus pemikiran utama umat muslim. Salah satu sebabnya adalah banyak perpecahan diantara dulu sesama pejuang 212 seperti Kapitra Ampera dan Razman Nasution yang kini justru menjadi pelayan pemerintah dan memusuhi kelompok 212. Ditambah penopang utama aksi 212 adalah organisasi FPI yang miris sekarang dibubarkan pemerintah dan praktis tidak memiliki sekutu handal dalam operasional aksi.

Jika kita memakai pemikiran dari teoritis gerakan sosial yakni Quintan Wictowarick dimana disebutkan bahwa framing atau pembingkaian yang cocok akan memiliki efek daya ledak kuat membangun persepsi publik untuk mendukung kelangsungan gerakan tersebut. 

Dalam kasus aksi 212, secara sadar atau tidak, pemerintah berusaha memutus keterikatan asosiasi antara simpatisan 212 dengan induk organisasinya. Sehingga, kini banyak masyarakat awam itu malu untuk ikut serta dalam aksi ini. Padahal itu hanya penilaian mental yang keliru supaya banyak yang tidak simpati terhadap aksi 212 tersebut. Lebih parahnya lagi, banyak masyarakat awam itu takut dengan hal sederhana seperti menyimpan atribut FPI dan atribut ormas Islam lainnya.

Menutup tulisan ini, penulis ingin mengambil tesis dari Samuel Huntington terkait teori "Benturan Peradaban" dimana secara unik negara mayoritas muslim mengalami proses islamophobia kepada segelintir kelompok dalam hal ini FPI dan alumni 212. Masih menurut Huntington bahwa ini menunjukkan kondisi subordinasi antara pemerintah dan Islam secara ekstrem dan salah satu pihak dibawahnya harus dibasmi. 

Terlihat dari upaya pemerintah melarang penggunaaan simbol FPI dan melarang aksi 212 digelar kembali. Hal ini sudah cukup membuktikan bahwa pemerintah menggembosi dan melemahkan kelompok tertentu umat Islam supaya steril dari kritik kritis. Ditambah ambisi pemerintah untuk menjadi penguasa absolut dan memberantas kelompok yang tidak sejalan dengannya. Maka dari sini, kita bisa melihat bahwa aksi 212 sudah kehilangan kesaktiannya melalui rekayasa sosial tingkat tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun