Mohon tunggu...
Indra Gazi
Indra Gazi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STEI Bina Muda Bandung

Bolehlah sesekali mampir ketulisan saya. bukan jadi bahan referensi ataupun jadi motivasi. hanya sekedar pengungkap hati melewati jari menjadi tulisan yang sedikit berarti

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Sepatu Bola

9 April 2021   00:29 Diperbarui: 9 April 2021   00:56 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah ini terjadi tahun 2007 ketika saya masih duduk di bangku MTs (Madrasah Tsanawiyah) setara dengan SMP dimana pada masa itu saya dengan kawan-kawan sebaya sedang ramai-ramainya bermain bola. Sepakbola adalah Ekstrakurikuler yang saya ambil pada waktu itu setiap selasa dan jumat sore kita berlatih sepakbola di lapang yang tidak jauh dari rumah saya.

Ekstrakurikuler ini saya ambil karena kegemaran saya bermain bola serta sebagai penghilang penat dari padatna kegiatan belajar. Maklum di Pesntren jadwal belajar kita padat mulai dari jam 4 Shubuh kita sudah di bangunkan untuk kegiatan Pesantren  dan belajar dari pagi hari sampai siang, serta dilanjut setelah Isya sampai jam 10 Malam.

Bermodal kaos olahraga sekolah serta celana pendek dan sepatu seadanya bukan halangan untuk kita berlatih dan bermain bola dengan giat. Berlatih dengan kaka kelas serta teman sebaya mulai dari fisik, tehnik hingga game itu berlangsung setiap latihan bola.

Kala itu sehabis bermain bola saya mengeluh ke bapak "Pak sapatu aa tos butut tos jebol, pami aa hoyong sapatu bal wois teu?" sambil senyum bapak menjawab " mangga a. Tapi syaratna aa kudu apal sa Juz.  Kumaha? Sanggup teu? Tanya bapak ke saya. Tanpa ragu saya menyanggupi syarat yang bapak ajukan.

Dengan bermodal tekad dan keinginan kuat tiap hari saya menghafal, setor hafalan, menghafal lagi setor hafalan lagi. Tepat setelah satu minggu dari perjanjian saya dengan bapak, tibalah di penghujung surat terakhir dari Juz 30 surat an Naba. 

Sehabis belajar siang sebelum ashar saya menghampiri bapak yang baru pulang dari tempat dia ngajar. "Pak aa bade di tes surat terakhir" ungkap saya ke bapak. "mangga a" sahut bapak " Candak Qur'an na di kamar sakalian pang nyandakkeun bapak cai".

Bapak duduk di kursi tengah rumah, sambil membuka Al-Qur'an. Saya mulai melantunkan hafalan saya " Audzubillahiminasyaiton nir rojiiim.. Bismillahirrohmaanirrohim.. A'mma yatasaaa aluun... A'nin nabail A'dzim...Allahdzi hum fiihi mukhtalifun" ayat demi ayat saya lantunkan sedang bapak terus memperhatikan AL-Qur'an. Sesekali membetulkan bacaan saya."Shodaqollohul adziiim" sebagai penutup dari hafalan saya. Seketika saya sujud sebagai bentuk syukur atas selesainya hafalan saya serta Hamdallah terucap dari mulut bapak sebagiai bentuk syukur atas keberhasilan hafalan saya.

Seketika bapak mengeluarkan uang agar saya menyegerakan membeli sepatu bola yang sudah bapak janjikan. Seratus ribu di tahun 2007 sangatlah cukup untuk membeli sepatu bola, saya meminta saudara untuk mengantar saya membeli sepatu bola yang saya inginkan. Dengan senang saya memperlihatkan sepatu bola yang saya beli dan memakainya setiap saya berlatih main bola.

Satu minggu setelah itu, ibu bercerita kalau uang yang bapak kasih untuk membeli sepatu bola adalah uang hasil pinjam ke saudara. Karena Bapak melihat kesungguhan saya dalam menghafal serta keinginan kuat untuk mendapatkan apa yang saya mau, bapak tidak mau mengingkari janjinya yang membuat saya kecewa.

Ada penghargaan lebih yang saya dapat dari apa yang saya alami. Ketika anak seusia saya waktu itu meminta sesuatu ke orang tuanya mereka tinggal merengek meminta sambil memaksa. Berbeda dengan orang tua saya, mereka tidak mau memberikan secara cuma-cuma. Harus ada hal yang saya lakukan terlebih dahulu entah itu melakukan pekerjaan rumah atau berprestasi dalam bidang apapun.  

Mengingat kembali kisah itu, membuat saya sadar akan satu hal bahwa memberi reward dari sebuah prestasi mempunyai makna lebih dari hal yang diberi secara cuma-cuma, serta janji yang ditepati adalah modal utama dari sebuah kepercayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun