Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke Jakarta guna menghadiri MODIS bersama Marzuki Ali. Karena tidak ada pilihan lain, maka saya memilih menggunakan jasa kereta api. Tidak sanggup dengan tarif bisnis ataupun eksekutif, maka saya putuskan untuk memilih yang ekonomi saja, Gaya Baru Malam tepatnya. Berangkat sekitar pukul 20.00 dari Jogja, diperkirakan tiba di Jakarta sekitar pukul 07.00 pagi. Tarifnya hanya Rp 31.500,-, tapi dengan resiko berdiri alias tidak mendapat tempat duduk. Kursi sudah ditempati oleh penumpang lain yang berasal dari Surabaya, yang menjadi awal keberangkatan kereta api. Ini adalah kali keduanya saya berdiri di dalam kereta dengan tujuan yang sama. Tidak ada pilihan lain karena kereta api Progo tiba di Jakarta sekitar pukul 02.00 malam. Tapi untuk yang kedua ini sungguh terasa berbeda dari pengalaman pertama. Sungguh ada banyak kisah menarik yang dapat diambil sisi positifnya, sehingga bisa menjadi sebuah pelajaran hidup. Mungkin bagi Anda yang pernah menggunakan kereta api ekonomi juga merasakan hal yang sama. Atmosfer kehidupan di KA ekonomi sungguh bertolak belakang dengan KA bisnis atau eksekutif yang lebih menonjolakn kasta. Tapi tidak menjadi masalah, itu adalah pilihan masing-masing. Sekarang saya hanya ingin mengisahkan bagaimana sisi lain dari kehidupan KA ekonomi. Begitu inspiratif dan memiliki kesan tersendiri bagi saya, dan mungkin juga bagi Anda.
Kegigihan
Coba kita lihat di KA ekonomi, banyaknya pedagang asongan yang hilir mudik menawarkan dagangan baik minuman, makanan hingga jasa seperti pijat. Mereka punya satu tujuan yakni mangis rejeki sebanyak mungkin. Melihat mereka silih berlalu lalang sesekali berseru "ngopi...ngopi...", "mijon...mijon..." dan masih banyak seruan khas yang membuatku tak pernah lupan dengan KA ekonomi. Jika dibandingkan dengan KA eksekutif atau bisnis tentu tidak akan dijumpai yang seperti ini. Satu keunikan tersendiri yang saya rasakan. Mereka bersaing dengan sehat, tidak ada perselisihan dengan pedagang yang lain. Walau bersenggolan, tapi tetap mereka saling bercanda. Sedangkan kita tahu bahwa mayoritas jenis dagangan mereka sama. Terlebih lagi usaha mereka yang tak pernah kenal lelah, memasuki setiap gerbong KA. Tidak ada bosan-bosannya menawarkan dagangan kepada penumpang. Mereka yang gigih dan giat, otomatis pendapatan juga akan jauh lebih besar. Sebaliknya jika bekerja tidak dengan sepenuh hati maka pendapatan juga tidak akan memenuhi. Kebetulan di samping saya saat itu duduk seorang ibu penjual pecel. Kursi itu kosong karena penumpangnya sudah turun lebih dulu. Lalu saya tanyakan, "Ibu gak jualan lagi?". "Sudah habis Mas" jawabnya. Saya turut senang juga, jelas sekali tergambarkan raut bahagia di wajah ibu itu. Ternyata beliau mengungkapkan rahasianya, bahwa pekerjaan seperti ini tidak boleh kenal yang namanya MALAS. Kalau sudah terjangkit dengan penyakit itu, maka mereka harus terima jika daganganya tidak laku. Karena kesempatan akan selalu ada di setiap tempat (gerbong) tanpa di duga-duga. "Mungkin pertamanya gak mau beli mas, tapi belum tentu berikutnya gak mau" tegasnya.
Kekeluargaan
Sebelum saya masuk ke stasiun saya sempatkan untuk mengambil uang di ATM, kebetulan pecahannya 100ribuan. Maksud saya mengantisipasi kalau saya kelaparan di dalam kereta, karena memang saya belum makan saat itu. Sialnya saya benar-benar merasa lapar dan ingin membeli makanan. Tapi karena pecahan uang yang besar, pedagang tidak punya kembalian. Terpaksa saya harus menahan lapar sampai di Jakarta besoj paginya. Tepat di seberang saya duduk, ada seseorang yang berasal dari Surabaya dengan tujuan yang sama. Saya lupa menanyakan nama beliau, tapi dari yang saya tahu dia adalah TKI yang berasal dari Mesir yang baru saja dipulangkan tapi berniat ingin kembali lagi. Kerabatnyapun juga banyak yang tinggal di Mesir, baik kerja maupun bersekolah. Beliaulah yang tanpa diduga menawarkan saya P*P MIE panas kepada saya seharga Rp 5.000,-. Saya kaget, ternyata beliau memperhatikan saya sejak tadi. Karena memang merasa lapar, saya lahap saja mie itu tanpa ragu dan malu, anggap saja mereka adalah keluarga. Sangat disayangan pada saat itu Ia tertidur dan tak sempat menanyakan perihalnya lebih dalam. Itulah salah satu nuansa kekeluargaan yang saya rasakan.
Kesabaran
Sabar adalah yang harus dimiliki oleh setiap penumpang yang menggunakan KA ekonomi. Sebab jika tidak, maka hipertensi akan dengan mudah menjangkit. Dapat dikatakan bahwa KA ekonomi punya banyak pemicu amarah. Mulai dari membeli tiket harus antri, menunggu KA, manaiki KA dengan berdesakan, berebut tempat kosong untuk duduk dan masih banyak lagi. Mereka yang harus banyak bersabar adalah yang tak ke bagian tempat duduk. Harus berdiri sekian lama hingga berjam-jam karena di dalam tiket sudah tertulis "tanpa tempat duduk". Selian capek, juga pastinya akan dirishkan dengan lalu lalang pedagang. Baru saja duduk, harus bediri karena pedagang mau lewat. Seperti yang saya rasakan sebelum akhirnya mendapat tempat duduk. Tidak sampai  5 menit duduk harus berdiri kembali, jika tidak maka siap saja menanggung reikoanya bertatapan dengan bokong pedagang. Tidak jarang juga sebagian rela duduk, tidur pasrah jika dilangkahi oleh pedagang. Begitupun juga dengan mereka yang alergi dengan asap rokok harus bersabar dan menutup mulut serta hidung jika tidak mau menghirupnya. Karena pada dasarnya tidak ada larangan merokok di gerbong KA.  Ini sudah menjadi kebiasaan bagi mereka yang acap kali mengendari KA ekonomi. Masih banyak lagi contoh lain, tapi yang paling teringat inilah yang berhasil saya tuliskan. [caption id="attachment_92199" align="alignright" width="346" caption="Pedagang yang silih berganti menawarkan makanan dan minuman"][/caption] . Mungkin demikian dari pengalaman saya yang keduakalinya ini menumpangi KA ekonomi. Mungkin juga tidak hanya ada tiga poin penting itu yang bisa menjadi pembeljaran kita semua. Jika ada yang beranggapan bawah KA ekonomi tidak bersahabat, maka itu tidak sepenuhnya benar. Jika ada positif dalam bepikir dan betindak maka di sekeliling Anda juga akan mendukung demikian. Diluar dari fenomena pencopetan, gendam, dan penipuan itu tergantung dari diri sendiri. Bagaimana mungkin kita bisa menjaga diri dan tidak menonjolkan hal-hal menarik mereka berbuat yang tidak terpuji kepada kita. Di KA Ekonomi, kita berbaur dari keragaman baik suku, agama, ras dan budaya. Semua bisa berbagi melalui diskusi-diskusi kecil seperti yang saya lakukan dengan salah seorang warga Surabaya yang mitra kerjanya ada di Timur Leste. Dari diskusi ringan akhirnya sedikit menambah pengetahuan kita satu sama lain dari sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ya, itulah sekelumit kisah kasih di KA ekonomi yang bisa saya tulis dan sajikan buat pembaca sekalian. Dengan satu tujuan, bahwa KA ekonomi tidak selamanya dalam sisi keburukan. Ada sisi lain yang lebih mengesankan dan dapat menjadi pelajaran hidup di masa datang. Sekian dan terimakasih, Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H