Saya tergerak untuk menulis ini sesaat ketika melihat postingan rekan kerja saya di akun instagrammnya. Tampak sekelompok anak sedang mengantri untuk mendapatkan tanda tangan dari seorang penceramah yang biasanya akan mengisi di kultum setelah atau sebelum tarawih di masjid. Oh, ternyata masih ada ya 'tradisi' memberikan tugas semacam itu dari guru sekolah? Sewaktu saya SD-SMP dahulu, yang biasa memberikan tugas adalah guru agama. Tujuannya baik, agar beliau atau sekolah dapat memantau kegiatan anak didiknya selama bulan Ramadhan. Itu buah pikir saat ini, kalau pada saat itu namanya juga anak sekolahan ya penginnya dapat nilai bagus untuk mata pelajaran agamanya.Â
Itu hanya kisah lain saja, tidak perlu terlalu serius. Yang serius tapi asyik yang akan saya bahas kali ini.Â
Generasi yang jadul dan milenial kalau menurut saya butuh pendekatan yang berbeda, termasuk dalam hal memberikan tugas kepada anak murid. Sebagai contoh, kalau dahulu saya dan kawan-kawan menggunakan sebuah buku yang merangkum detail nama masjid, penceramah, isi ceramah, imam bahkan ditandatangani oleh yang berceramah. Adalah happy ketika tidak ada ustadz yang berceramah malam itu, biasanya sih karena ada pasar malam. Namun untuk masa kini, rasanya kurang relefan lagi.Â
Baik, kembali ke pendekatan antara kedua generasi tadi. Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap guru dan saya yang sok tahu, tapi saya melihat, bahwa saat ini tenaga pengajar perlu memikirkan keterlibatan social media sebagai media positif untuk pendampingan anak murid, utamanya dalam memberikan tugas di luar sekolah. Simpel, saya yakin anak murid jaman sekarang sudah kenal dengan social media mainstream seperti Facebook, Twitter dan Instagram. Kita tentu familiar dengan sebutan kultwit. Bayangkan kalau misal isi ceramah ustadz-ustadz di masjid itu dijadikan kultwit oleh anak sekolah ini, menurut hemat saya akan jauh lebih bermanfaat memberikan pengaruh positif kepada followers-nya bahkan khalayak pengguna platform sejenis. Tambahkan penggunaan hastag atau tagar, guru dapat menentukan format hastag-nya, sehingga dapat dipantau oleh guru siswanya dimana, sedang mendengarkan apa, dsb.Â
Instagram, gunakan sebagai platform untuk meng-upload foto-foto dan caption menarik, inspiratif, bernuansa ramadhan yang dapat memberikan impak positif terhadap lingkungannya. Sekaligus melatih tingkat kepedulian, kewaspadaan dan paling penting adalah membiasakan untuk menggunakan social media dalam ruang yang produktif atau minimal berkontribusi mengurangi konten negatif. Salah satunya selfie muda-mudi masa kini yang lebih banyak membuat kita geleng-geleng kepala dari pada mengganggukkan kepala.Â
Sama halnya dengan social media Facebook atau yang lainnya. Bahkan kontentnya dapat dianalisis menggunakan metode-metode tertentu, salah satunya penggunaan hastag, keyword dan lainnya. Guru yang memantau lini timeline dapat memberikan apresiasi dengan cara-cara kreatif pula, retweet, regram, dll. Jadi kuncinya, jangan musnahkan tool-nya kalau masih bisa dimanfaatkan untuk tujuan yang lebih baik. Handphone dapat membunuh memang, tetapi di sisi lain dapat mendatangkan kebahagiaan, kesejahteraan, wawasan bahkan hidayah hanya dengan gerakan jempol. Kita tentu sudah pahamlah, bahwa impak social media ini sangat besar perannya, mampu memberikan perspektif bahkan mengarahkan penggunanya kepada hal-hal yang tidak diduga.Â
Ya saya sadari, tentu metode ini mungkin tidak bisa digeneralis pada seluruh anak murid di negeri ini, dengan alasan akses teknologi informasi dan jaringan internet yang tidak sepenuhnya memadai. Namun, bukan tidak mungkin yang terjangkau dapat mengawali dan memberi contoh lebih dahulu.Â
Jadi, adik-adik yang membaca ini, silahkan mencoba berinisiatif sambil tidak lupa mengerjakan apa yang ditugaskan oleh Bapak dan Ibu guru kalian.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H