Kepada yang terhormat Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Dimanapun Anda berada, semoga sempat membaca tulisan ini.
Saya mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Sudah termasuk sebagai mahasiswa tingkat atas, tepatnya semester V (lima) dan baru saja menjalankan Ujian Akhir Semester (UAS). Sepulang ujian hari ini saya mendapat informasi dari Facebook seorang dosen saya, yang isinya foto yang di-capture dari surat berperihal Publikasi Karya Ilmiah yang Anda peruntukkan kepada segenap pimpinan PTN dan PTS di Republik ini.
Jujur saja, Surat tertanggal 27 Januari 2012 dan ditandatangani oleh Ditjen Dikti Bapak Djoko Santoso ini membuat saya cukup panik. Karena ternyata tambah lagi satu beban syarat kelulusan kami dalam ini saya sebagai calon lulusan S1 Tek. Penerbangan selain dari skripsi tentunya. Namun, saya menyadari latar belakang pemikiran keputusan ini. Mengingat minimnya jurnal ilmiah kita yang dapat dijadikan acuan atau referensi dunia. Bahka saya pernah sempat mencari jurnal via iPad dari seluruh perguruan tinggi di dunia tidak ada satupun dari Indonesia. Menyedihkan bukan? Maka itu saya sangat mengerti dan setuju sekaligus menerima konsekuensinya bahwa saya harus membuat minimal satu Karya Ilmiah.
Mengapa tulisan ini saya peruntukkan buat Anda, karena pengambil kebijakan tertinggi ada pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diwakili dalam hal ini oleh Ditjen Dikti. Sesuai dengan kop suratnya bukan?
Begini Pak, di dalam surat bernomor 152/E/T/2012 Ditjen Dikti menuliskan kalimat yang menurut saya agaknya 'ganjil'. Berulang kali saya baca mencoba mencari sisi lain dari yang dimaksudkan tapi tidak juga ketemu. Coba mari kita pahami kalimat pembuka pertama.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada saat sekarang ini jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh.
Secara jelas Pak Djoko Santoso menuliskan dengan jelas bahwa jurnal ilmiah kita masih berada di bawah dari negara tetangga Malaysia. Ini apa maksudnya ya Pak?
Mengapa harus dibandingkan dengan Malaysia? Kalau memang hendak dibandingkan dengan negara lain, mengapa tidak dengan negara yang lebih maju? Itu pertama.
Kedua, apakah Malaysia memang standar pendidikan kita selama ini utamanya perguruan tinggi lebih dalam lagi mengenai Jurnal Ilmiah? Mengapa kita tidak memiliki standar independen untuk negara ini dan itu mampu membaca kita pada pengakuan dunia?
Ketiga, apakah memang sudah menjadi mindset pemimpin ini bahwa segala bentuk pencapaian harus melebihi Malaysia yang acap kali berseteru dengan Rep. Indonesia?
Lebih jelas lagi Bapak Djoko Santoso menekankan dalam kalimat kedua.
Hal ini menjadi tantangan kita bersama untuk meningkatkannya.