Mohon tunggu...
Humaniora

Mendadak Taqwa?

13 Juli 2015   14:35 Diperbarui: 13 Juli 2015   14:48 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh :Indra Fakhruddin

Pemandangan umum, mendekati detik-detik dipenghujung ramadlan keramaian bergeser ke pusat-pusat perbelanjaan. Orang-orang mulai sibuk mempersiapkan kebutuhan hara raya idul fitri. Mulai pilih-pilih baju baru, sandal, makanan ringan, sampai ganti gadget. Entah mulai kapan tradisi hari raya harus memakai baju baru. Kayaknya kurang afdlol kalau baju buat hari raya tidak baru. Barang-barang ditoko habis dilahap pembeli. Penampakan euforia idul fitri yang konsumtif minus spiritual terpapar tajam di jalan-jalan dan pertokoan.

Sedihnya, masjid-masjid yang diawal ramadlan ramai dikunjungi, kini kelihatan 'angker' sepi ditinggal shoping. Shaf sholat jama'ah -terutama tarawih- mengalami kemajuan dibanding hari-hari perdana dibulan Ramadlan yang mengalami kemunduran. Padahal, seharusnya memasuki sepuluh terakhir bulan ramadlan ini kualitas ibadah dan taqorrubb illallah kita seharusnya lebih kencang. Lebih khusu' lebih tumakninah menghayati puasa. Terbangun perasaan khouf (takut) dan roja' (harapan) akan ibadah yang dilakukan serta dosa-dosa yang menumpuk sehingga terdorong untuk lebih giat memperbanyak ibadah dan tak berhenti menghaturkan do'a.

Sesuai dengan uswah Nabi Muhammad Saw, mestinya malam-malam dipenghujung ramadlan ini kita lebih banyak berdiam diri di masjid untuk i'tikaf memburu malam kemuliaan yaitu lailatul qodar. Dimana pada malam pucak kemuliaan ini Allah Swt melipat gandakan pahala ibadah kita, dalam satu malamnya lebih baik dari 1000 bulan. Siapa coba yang tidak tergiur oleh iming-iming janji dari Allah swt ini? Coba, sangat rugi seandainya kita ketinggalan kereta untuk mengejar malam lailatul qadar. Kesempatan emas tidak datang kedua kalinya. Umur tidak bisa ditebak. Ramadlan tahun depan belum tentu kita berusa kembali. Andai ramadlan tahun ini adalah ramadlan terakhir bagi kita? Namun kita mencapakkannya dengan kesengajaan. Lantas Apa kata dunia?

Dimana ketaqwaan yang kita gembar-gemborkan di saat start ramadlan dikumandangkan? Banyak yang mengira bahwa ketaqawaan itu bisa ditempuh melalui jalan pintas." Mendadak taqwa", apa benar demikian? Sayangnya tidak. Jalan ketaqwaan sangat berkelok-kelok penuh tantangan. Oleh karenanya, tidak semua orang mampu menyabet gelar taqwa dalam "kompetisi" puasa ini. Gelar ketawaan hanya akan diraih dengan syarat telah terbangunnya pondasi iman yang kokoh pada diri seorang muslim. Iman yang qowwi (kuat) melahirkan spirit terhadap segala perintah dan larangan Allah swt. Termasuk bersungguh-sungguh dalam menyambut seruan puasa ramadlan. Berbekal iman yang tangguh, puasa yang dijalaninya dapat menghantarkannya menjadi hamba bertaqwa.

Jadi puasa yang biasa-biasa mustahil membentuk manusia bertaqwa. Ketaqwaan terbangun dari materi-materi keimanan yang berkolaborasi dengan amal-amal sholih keduanya merajut pertalian ketaqwaan yang kokoh. Sekali lagi ketaqwaan bukan perkara instan. Namun sebuah perjuangan dan pengorbanan yang tak mengenal titik penghabisan.

Alangkah indahnya baju baru yang kita kenakan melengkapi pesona ketaqwaan yang kita dapatkan. Bukanlah idul fitri itu memakai pakaian yang serba baru , tetapi idul Fitri itu bagi mereka yang ketaqwaannya bertambah baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun