Mohon tunggu...
Indra Budiman
Indra Budiman Mohon Tunggu... -

seseorang yang masih belum mengerti diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Siang yang terik di Taj Mahal

9 Februari 2012   05:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:52 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_169631" align="aligncenter" width="600" caption="Taj Mahal"][/caption] Langkah saya jauh lebih lambat daripada semangat saya. Teriknya Agra memang menjadi tantangan tersendiri demi menikmati mahakarya yang tersohor itu. Taj Mahal.Siang itu matahari terasa tidak bersahabat, panasmenyengat. Belum lagi debu kotor yang beterbangan dari proyek perbaikan jalan yang sedang berlangsung di sepanjang jalur yang kami lewati. Kami memutuskan untuk naik Autoriksaw menuju gerbang utama walaupun jaraknya dari hotel kurang dari 1 Km. Keramaian sudah mulai terasa di depan gerbang masuk, ada banyak sekali orang yang ingin berwisata ke Taj siang itu. Dari gerbang utama tempat kami diturunkan oleh supir bajaj, kami masih harus berjalan sekitar 100-150 meter lagi menuju ticket counter dan pintu masuk ke komplek bangunan makam utama. Sampai di loket penjualan tiket, saya merasa perjuangan kami melihat Taj Mahal akan bertambah sulit. Ribuan orang terlihat lalu lalang dan memenuhi seluruh area terbuka membentuk pemandangan tidak mengenakkan siang itu. Ya, tidak mengenakkan, karena akan menjadi saingan bagi kami untuk mendapatkan tiket masuk ke Taj Mahal, paling tidak mereka akan menambah waktu antrian 1-2 jam. Sungguh ramai. Kami langsung menuju loket penjualan tiket. Rencananya kami akan mencoba antri di loket wisatawan lokal yang harga tiketnya 50 kali lebih murah daripada wisatawan asing, toh banyak orang yang menduga kami adalah orang India. Namun, melihat antrian loket wisatawan lokal yang sudah “mengular” kami memutuskan untuk tidak mencoba melakukan niat curang kami. Namun, salah seorang teman saya, Musthofa, yang memang keturunan India, tetap antri di loket wisatawan lokal. 750Rs per orang akhirnya melayang di loket foreigners. Tidak perlu antri untuk membelinya, karena memang tidak ada turis asing lain yang datang pada saat kami sampai di loket. Karena harga tiketnya jauh lebih mahal, kamipun mendapat layanan yang lebih baik. Kami dibekali dengan air minum botol 500 ml, kaus penutup sepatu dan ditemani seorang tour guide. Di dalam makam utama (yang bangunannya mirip mesjid itu lho) kita tidak diperbolehkan menggunakan alas kaki, sehingga para pengunjung harus membuka sepatu/sandalnya. [caption id="attachment_169639" align="alignleft" width="300" caption="kaus penutup sepatu/sandal"]

13287650531408257953
13287650531408257953
[/caption] Nah, khusus untuk yang tiket foreigner, kita diberi penutup sepatu. Seperti kaus kaki, namun dipakai untuk membungkus sepatu/sandal sehingga kita tidak perlu melepas alas kaki kita. Sebelumnya kami sempat menolak untuk menerima layanan seorang tour guide yang diberikan secara cuma-cuma . Dari referensi yang kami dapatkan, biasanya mereka bilang layanan gratis, namun ketika akan pulang, mereka akan meminta bayaran. Si Penjaga Loket dan Guide itu meyakinkan kami tidak akan meminta bayaran tambahan belakangan, karena itu sudah termasuk dalam harga tiket yang yang kami beli dan mereka memang digaji pemerintah untuk itu, akunya. Kami mencoba untuk percaya dan mulai berjalan menuju pintu masuk.
1328763749153938665
1328763749153938665

Untung saja kami di loket foreigner karena tidak perlu antri lama. Sebelum masuk, barang-barang kami diperiksa dulu oleh petugas, ada banyak barang yang tidak boleh dibawa masuk, termasuk mainan karet yang saya beli di kereta seharga 10 rupees. Terpaksa saya harus merelakannya. Kami diperiksa satu persatu, mirip dengan pemeriksaan sebelum check in di bandara. Kami telah melewati bagian pemeriksaan. Namun kami masih harus menunggu Musthofa, teman yang mengantri di loket wisatawan lokal. Selang beberapa menit, kami sudah bisa melangkah bebas memasuki komplek bangunan agung tersebut. Kami langsung beraksi dengan kamera masing-masing, jeprat-jepret untuk sekedar mengabadikan momen dan ajang narsis. Taj Mahal, I’m here! Pemandangan yang begitu familiar dalam buku-buku pelajaran sekolah dulu, sekarang ada di depan mata.

Berada diantara orang-orang asing, di tempat jauh yang mungkin dulu sama sekali tak terbayangkan untuk dikunjungi dan menyadari itu nyata, ada perasaan berbeda yang luar biasa. Kami tidak ingin ketinggalan untuk mengambil gambar diri di depan mausoleum paling terkenal di dunia ini. Meskipun suhu udara mendekati 47 derajat celcius, kami tetap semangat untuk masuk ke dalam bangunan utama ( bangunan mirip mesjid yang fotonya sering kita lihat). Siapa sangka, semakin saya mendekati bangunan ini, saya semakin kagum akan kemegahannya. Mulai dibangun pada 1632, Taj Mahal menjadi bangunan berarsitektur Mughal terindah yang mengkombinasikan gaya arsitektur Turki, Persia dan India. Pada 1983, Taj dinobatkan sebagai situs warisan dunia UNESCO. Luar biasa! Kami banyak mendapat pengetahuan dari si tour guide “yang terpaksa harus kami terima untuk menemani kami”selama di dalam komplek Taj Mahal. Ternyata bahan baku utama bangunan ini adalah batu marmer.

Semakin siang, pengunjung yang datang semakin ramai. Semakin terasa bahwa kami adalah minoritas di tempat ini. Siapa sangka, bangunan nan megah ini utamanya adalah makam. Makam Mumtaz Mahal, istri ke-13 Shah Jahan yang meninggal pada saat melahirkan anak ke-14 nya. Kami memasuki ruang makam yang terasa semakin sempit dengan banyaknya pengunjung. Si tour guide tetap bersemangat menceritakan kepada kami setiap detil yang ada di bangunan. Mulai dari detil hiasan bunga yang batu-batunya berasal dari Persia, Arab dan Negara-negara Timur Tengah Lainnya. Saya hanya bisa bertanya-tanya, pada masa pembangunan semua batuitu diangkut oleh berapa orang dan memakan waktu berapa lama? Ada yang unik dari batu hiasan ini. Jika kita menyinari dengan senter, maka batu-batu tersebut terlihat terang berkilau.

[caption id="attachment_169632" align="alignleft" width="700" caption="ramenya taj siang itu"]

13287642651044204406
13287642651044204406
[/caption]

Kemudian, hiasan unik lain yang penting adalah kaligrafi yang menghiasi dinding-dindingnya. Kaligrafi ini ternyata adalah ayat-ayat dari Surah Yasin mulai dari awal hingga akhir. Satu surat penuh. Nuansa Islamnya semakin terasa.Sayangnya makam yang diperlihatkan ke pengunjung bukanlah makam yang asli, karena makam yang asli terletak di ruang yang lebih jauh di bawah makam yang dipamerkan.

Puas bercerita mengenai seluk beluk Taj Mahal si Tour Guide tak lupa menunjukkan “the best place to take picture” (begitu dia menyebutnya), namun hanya dengan kamera poket atau kamera Handphone. Dia mengambil photo dari balik ventilasi kecil yang mengelilingi makam ke arah gerbang masuk. Ternyata benar, indah.

Suhu udara terasa makin panas, dahaga tak dapat ditahan lagi. Kami semakin tidak kuat untuk berjalan lebih lama lagi di komplek Taj Mahal ini ketika kami menyadari bahwa tak satupun dari kami berlima yang masih mempunyai persediaan air minum. Pada saat ini saya merindukan “gaya” tempat-tempat wisata di Indonesia, yang pada umumnya banyak pedagang minuman yang mondar-mandir atau paling tidak ada pedagang kaki lima. Di dalam komplek ini, tidak satupun penjaja minumanterlihat. Si tour guide bilang kalau penjual minuman ada persis di depan pintu keluar.

Kami semakin mempercepat langkah. Pesona Taj Mahal nan megah ini sejenak hilang tak berarti. Yang ada hanyalah semangat untuk mencari air minum. Takutnya jika semakin lama berjalan-jalan kami akan dehidrasi. Kami segera menuju pintu keluar.

Tak perlu menunggu dan memilih tempat membeli minuman. Baru saja kami melewati pintu keluar, kami langsungmengambil minuman yang ada di dalam lemari es yang ada di warung pertama yang kami jumpai. Karena tak sabar dan saking hausnya, saya langsung menenggak “Limca”. Minuman bersoda dengan rasa mirip “sprite” di Indonesia, namun lebih berasa “lime”. Spontan saja perut saya langsung melilit tak karuan. Tubuh yang panas dan perut kosong langsung bertemu minuman dingin bersoda dengan rasa asam. Sakitnya membuat saya terduduk kelu untuk beberapa saat.

Di deretan pertokoan ini, banyak yang menjual souvenir. Ada banyak miniatur Taj Mahal dijajakan disini. Selain itu ada banyak souvenir jenis lain, namun bahan baku utamanya sama, yaitu marbel, alias marmer. Kami membeli beberapa souvenir sebagai kenang-kenangan masing-masing.

Sebelum sampai di hotel, kami makan siang terlebih dahulu di sebuah warung di dekat hotel. Musthofa merekomendasikan warung itu karena ada nasinya dan rasa masakannya “bisa diterima” lidah Indonesia. Nasi, kari dan chappati jadi menu makan siang saya hari itu.

[caption id="attachment_169634" align="alignleft" width="400" caption="chappati, nasi dan kari"]

13287643681986905256
13287643681986905256
[/caption]

Karena Musthofa sudah selesai makan, dia berinisiatif untuk balikke hotel lebih dulu. Kurang dari sepuluh menit berlalu, dia kembali lagi dan membawa kabar buruk. Mendengar kata “kabar buruk” pikiran saya sudah kemana-mana. Apa barang kami hilang, tiket kami batal atau hal-hal parah lainnya. Ternyata, jauh di luar perkiraan saya kabar buruk ini malah terkesan lucu.

Kamar kami diacak-acak “teroris”, padahal sudah kami kunci. Kami segera menuju kamar. Kami dapati kamar yang sudah acak-acakan, barang-barang di dalam tas berserakan di lantai dan di tempat tidur. Makanan cadangan kami berhamburan, termasuk perlengkapan mandi yang sebelumnya tersusun rapi di dalam tas.

Kami lupa sesuatu, memang benar pintu kamar sudah dikunci, namun kami lupa mengunci jendela. Inilah pintu masuk bagi teroris-teroris berekor itu. Kami baru menyadari kalau di daerah ini ada banyak monyet berkeliaran. Kami segera mengecek tas masing-masing, Alhamdulillah paspor dan tiket pesawat ke Indonesia aman, tidak dilarikan oleh monyet-monyet kampung itu. Kejadian tak terlupakan ini mengakhiri perjalanan kami di Taj Mahal siang itu.

[caption id="attachment_169635" align="alignleft" width="700" caption="taman yang mengelilingi bangunan utama"]

132876445279339799
132876445279339799
[/caption] [caption id="attachment_169644" align="aligncenter" width="700" caption="gerbang masuk utama"]
1328765535270829396
1328765535270829396
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun