Mohon tunggu...
INDRA BAYU NUGROHO
INDRA BAYU NUGROHO Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura

Saya tertarik dengan isu hukum dan politik

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pemilihan Kepala Daerah Oleh DPRD: Efisiensi Anggaran atau Arogansi Kekuasaan

6 Januari 2025   09:00 Diperbarui: 6 Januari 2025   08:56 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://nasional.kompas.com/read/2018/04/18/08592521/komedi-kepala-daerah-dipilih-dprd?page=all

Beberapa waktu yang lalu pernyataan politik Presiden Prabowo Subianto dalam acara hari ulang tahun Partai Golkar mengundang atensi publik yang luar biasa besar. Secara konklusif orang nomor satu di Indonesia tersebut menyoroti pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia yang dikatakan sebagai ajang terbuangnya anggaran, atas dasar hal tersebut mantan Danjen Kopassus tersebut kemudian melontarkan sebuah ide agar kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah saja sebagai bentuk efisiensi anggaran, tidak berhenti disitu Presiden Prabowo juga membandingkan pemilihan pemimpin daerah di beberapa negara yang dilakukan oleh Dewan di daerah. Gayung bersambut pernyataan Presiden tersebut mendapatkan tanggapan positif dari berbagai pejabat negara baik dari rumpun eksekutif maupun legislatif, bahwa pilkada secara langsung merupakan konsep yang tidak efisien dan lebih baik jika dikembalikan kepada DPRD.


KEPALA DAERAH DIPILIH OLEH DPRD BUKAN HAL BARU


Sebenarnya berbicara mengenai fakta historis, pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukanlah suatu konsep yang baru diperkenalkan, hal ini karena pemilihan kepala daerah sejak tahun 1965 melalui keberlakuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah hingga tahun 2003 atas dasar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dilakukan oleh DPRD. Baru sejak tahun 2004 melalui rezim Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui proses pemungutan suara. Diluar mekanisme pemilihan kepala daerah berupa pemilihan langsung oleh rakyat maupun pemilihan oleh DPRD sebenarnya terdapat mekanisme pemilihan kepala daerah dengan tipe lain yang pernah diterapkan di Indonesia, yakni kepala daerah ditunjuk langsung oleh Presiden atas dasar pendelegasian tugas sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Mekanisme ini pernah diterapkan di Indonesia dari tahun 1945 hingga tahun 1956. Adanya ragam mekanisme atau tipe dari pemilihan kepala daerah sebenarnya disebabkan oleh Konstitusi kita yang tidak memberikan limitasi terhadap mekanisme dari pilkada. Konstitusi sendiri dalam Pasal 18 Ayat (4) hanya memberikan sebuah koridor bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis, atas dasar hal tersebutlah kemudian mekanisme pilkada menjadi open legal policy atau kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk Undang-Undang.


INKONSISTENSI LEGISLATIF DAN MAHKAMAH KONSTITUSI


Dalam bidang kajian hukum tata negara dan hukum pemilihan umum sebenarnya terdapat diskursus yang amat menarik mengenai pemilihan kepala daerah, dimana terdapat inkonsistensi dari Mahkamah Konstitusi dan pembentuk undang-undang dalam memandang sistem dari pilkada itu sendiri, yakni dalam hal apakah pilkada merupakan bagian dari pemilu ataukah pilkada merupakan sistem tersendiri diluar pemilu. Inkonsistensi tersebut bagaikan sebuah aliran Sungai yang terus mengalir dan hingga sekarang masih belum mencapai muara. Ketika pilkada pertama kali dilangsungkan dengan pemungutan suara langsung, domain kewenangan untuk menyelesaikan sengketa berada di tangan Mahkamah Agung maka atas dasar hal tersebut dapat diarik suatu Kesimpulan bahwa pilkada merupakan sistem tersendiri diluar pemilu, kemudian 4 tahun setelahnya disahkanlah Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Pemerintahan daerah. Dalam Undang-Undang tersebut domain penyelesaian sengketa pilkada berpindah dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi, mencermati norma ini maka dapat ditarik suatu konklusi bahwa pilkada merupakan bagian dari pemilu, hal ini karena konstitusi sendiri hanya memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi unttuk menangani sengketa pemilu, sehingga apabila Mahkamah Konstitusi turut berwenang menangani sengketa pilkada, maka pilkada dianggap merupakan bagian dari pemilu. Pasca disahkannya Undang-Undang tersebut inkonsistensi tersebut belum juga berhenti. Hingga yang paling akhir adalah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan nomor 85/PUU-XX/2022 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang secara penuh untuk menangani sengketa hasil Pilkada yang kemudian juga dapat disimpulkan bahwa Pilkada merupakan bagian dari pemilu.
Penulis ingin mencoba berandai-andai bahwa semisal ide tersebut direalisasikan oleh pembentuk Undang-Undang dengan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Pilkada maka hal ini akan menambah Panjang daftar inkonsistensi tersebut. Ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD maka sudah jelas bahwa pilkada akan menjadi sistem tersendiri diluar pemilu, secara tidak langsung maka dengan disahkannya perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah, DPR selaku pembentuk Undang-Undang juga telah menyimpangi putusan mahkamah konstitusi nomor 85/PUU-XX/2022 yang telah disebutkan sebelumnya. Bertambah panjangnya daftar inkonsistensi tersebut merupakan suatu hal yang sangat tidak ideal bagi demokrasi negara ini, hal ini karena seolah-olah mekanisme demokrasi dalam bingkai otonomi daerah melalui Pilkada beserta sistemnya sangat ditentukan oleh kepentingan elit politik yang juga dapat diubah sewaktu-waktu dan seenaknya apabila memang kepentingan elit membutuhkan akan hal tersebut.
 
PILKADA BUKAN SEKEDAR BIDAK CATUR ELIT POLITIK


Selain itu ketika pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD bagaimana Nasib dari demokrasi dalam bingkai otonomi daearah. Padahal tujuan utama dari pelibatan rakyat secara langsung dalam pemilihan kepala daerah untuk meningkatkan taraf dan partisipasi demokrasi di tingkat daerah. Secara mendasar inti dari demokrasi adalah ketika rakyat dapat terlibat semaksimal mungkin dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, mungkin pihak yang pro akan perubahan mekanisme pilkada ini akan menjawab bahwa demokrasi sudah diwujudkan dengan peran rakyat dalam memilih anggota DPRD dalam Pemilihan Umum. pertanyaan penulis kemudian adalah apakah yakin para anggota DPRD akan merefleksikan aspirasi dari rakyat dalam memilih kepala daerah, bukankah selama ini secara realitas para anggota DPR dan DPRD hanya menjadi corong kepentingan fraksi dan corong partai politik saja. Selain itu dengan dikembalikannya pilkada menjadi domain dari DPRD akan menjadikan seolah-olah kontestasi pilkada merupakan bidak catur pragmatis dari partai politik yang di dalamnya penuh dengan lobi-lobi berupa pertukaran kepentingan dan adu siasat licik untuk saling menumbangkan satu sama lain.  Jika yang terjadi adalah fakta seperti itu maka sudah jelas kepala daerah yang terpilih hanya akan menjadi corong politik bagi suksesi kekuasaan faksi politik tertentu yang sama sekali tidak merefleksikan kepentingan langsung dari rakyat. Banyak pihak yang mengaitkan pernyataan presiden tersebut dengan kekalahan koalisi besar pilpres yang mengusungnya dalam kontestasi pemilihan kepala daerah serentak 2024. Jika memang hal tersebutlah yang menjadi alasan perubahan mekanisme tersebut maka sudah jelas penolakan harus dilakukan karena demokrasi berada di tangan rakyat bukan di tangan penguasa yang bisa digunakan semaunya untuk suksesi dan stabilisasi kepemimpinan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun