Teknik Universitas Hasanuddin seringkali diidentikkan dengan budaya kekerasan di dalamnya dan seringkali orang mencap sebagai individu-individunya yang urakan dan pemberontak. Mungkin seperti itulah media berhasil memberikan stigma-stigma negatif terhadap masyarakat. Seringkali kita melihat dalam pemberitaan tentang kejadian-kejadian yang sangat membuat miris masyarakat, bahkan dalam lingkup UNHAS sendiri. Di tengah maraknya masalah-masalah yang menimpa negeri ini, budaya-budaya kekerasan yang berkembang di UNHAS, tentunya sangat menyayat hati rakyat Indonesia, menyaksikan kaum akademisi yang melakukan kekerasan fisik, tawuran, rusuh, sungguh suatu dinamika yang meski secara psikologis adalah wajar bagi usia tersebut, namun selalu dihantui resiko yang tidak kecil.
Bertindak anarkis, brutal dan membabi buta, tentunya bukan hal yang diinginkan siapapun. Yang paling merugikan lagi, aksi-aksi tersebut sampai merusak fasilitas kampus, melukai para mahasiswa, bahkan kadang sampai menghasilkan korban jiwa. Mahasiswa yang diagung-agungkan sebagai social control, agent of change, moral force, ketika tidak menjalankan fungsinya tentunya ini menjadi masalah bagi siapapun, birokrasi kampus, rakyat, hingga pemerintah. Kerena mahasiswa adalah kaum yang sangat dekat dengan kedua lini, dekat dengan rakyat dan kritis terhadap pemerintah. Inilah ironinya, ajang keramain yang dilakukan bersama dengan saudara sendiri, sesama mahasiswa UNHAS, dianggap sebagai hal rutin, sebagai ajang 'refreshing'Â katanya.
Pernahkah kita mendengar Pendakian Gunung Elbrus, Rusia yang dilakukan oleh 3 Mahasiswa Teknik UNHAS? Mahasiswa Teknik UNHAS yang berprestasi di PON bahkan hingga tingkat kejuaraan dunia? Hal-hal inilah yang jarang mendapatkan perhatian dari media. Dengan alasan rating, mereka membuat pemberitaan yang berlebih tentang hal-hal negatif, bad news is good news.
Calon Insinyur sepatutnya adalah mereka yang akan membangun dan mengatasi permasalahan-permasalah bangsa nantinya. Insinyur inilah yang harus lantang berbicara dengan caranya, ketika yang lain hanya bergelut dengan retorika tanpa implementasi yang jelas. Tidak hanya dipandang sebelah mata yang hanya sebagai pekerja. Mahasiswa Teknik, dari awal dibentuk untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada, berfikir kreatif, solutif, bekerja cepat dan tanggap menghadapi masalah. Sebagaimana UNESCO memperkenalkan empat pilar belajar, yaitu: Learning to know, Learning to do, Learning to live together, dan Learning to be, tentunya seperti itulah mahasiswa sejatinya belajar dan bertindak.
Bangsa ini memerlukan pemikir-pemikir baru, menggantikan mereka-mereka yang terjajah oleh sikap-sikap hedonisme. Bukan mereka yang yang berfikir primitif menghadapi era globalisasi yang semakin ekstrim. Meski kearifan lokal harus tetap terpelihara, namun harus disinergikan dengan realitas-realitas yang ada dan berkembang saat ini. Tidak perlu lagi dengan cara-cara kekerasan. Mahasiswa Teknik dituntut bermental baja, berfikir kreatif, kritis, analitis dan ilmiah, jangan sampai berfikir parsial dan labil mengingat tanggung jawab yang akan diaemban kedepannya, bukanlah hal sepele. Kehidupan mahasiswa yang sarat akan konflik, tantangan, dan cobaan adalah sebuah dinamika yang harus dihadapi dengan penuh percaya diri dan keyakinan kuat dalam bersikap. Indonesia dengan segala potensi yang ada membutuhkan Insinyur yang handal dan mapan dari segi emosional.
Dengan segala upaya prventif dari civitas akademika UNHAS, Teknik UNHAS hari ini, akan lebih baik dari sebelumnya, Teknik saat ini akan lebih berprestasi lagi dan mampu bersaing hingga tingkat nasional dan internasional. Dengan, hijrahnya Teknik ke kampus yang baru, yang tentunya bukan hanya sekedar berpindah, namun hijrah yang sebenarnya. Menjadi generasi yang menjunjung tinggi Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tidak ada lagi budaya kekerasan, tinggal menunggu bagaimana cara menyalurkan energi-energi yang berlebih yang dimiliki para generasi muda tersebut ke hal yang positif dan produktif. Tidak lagi, energi-energi berlebih tersebut disalurkan ke hal-hal yang hanya yang akan mencap sebagai mahasiswa barbar.
Untuk itu, dengan segala pemberitaan yang ada, tidak mungkin kita menyalahkan media, namun yang perlu kita lakukan adalah berbuat lebih lebih dan lebih baik lagi. Kesadaran akan posisi sebagai kaum akademisi harus senantiasa tercermin melalui sifat-sifat dan sikap yang berintelektual. Jangan sampai, mahasiswa dicap sebagai pembuat keonaran, Indonesia sedang menunggu kita, menunggu pemikiran-pemikiran baru yang akan muncul dari generasi baru yang lebih fresh dengan semangat dan pemahaman baru atas realitas yang terus berkembang dengan dinamis. Generasi baru yang akan meneruskan kebenaran ketika yang tua meninggalkannya. Generasi yang akan memelihara keberanian ketika yang tua bersembunyi, yang bergerak ketika yang tua telah lumpuh, yang akan dengan benar memahami realitas ketika yang tua tersesat. Kitalah yang akan tetap lantang bersuara ketika yang tua terperosok dalam pesimisme dan terhanyut dalam pragmatisme. Karena, kitalah tumpuan harapan bangsa!!!
Jayalah Teknik!!! Jayalah UNHAS!!! Jayalah Indonesiaku!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H