Mohon tunggu...
Indra Anwar
Indra Anwar Mohon Tunggu... -

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mahila

13 Februari 2014   11:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:52 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mencoba menangkapmu pada setiap fajar terbit,  ketika aku berdiam memaku bola raksasa dengan mataku, tapi sejak kau tinggalkan peradaban, tidak ada lagi getteng (Pemberani) dan ketegaran itu. I Mallombassi telah pudar, semua luntur.

“Dua tahun sejak kabar itu, Aku tak lagi peduli padamu,”

Perempuan di depanku tertunduk, bulir-bulir air mengambang di sudut sipit matanya.

“Tapi kenapa Daeng tidak mencoba menemuiku waktu itu.” Ia mencoba tegar.

“Bukan tak mau, tapi aku takut rasa itu kembali dan itu dosa,” kuhembuskan nafas keras-keras. Jujur rasa itu perlahan merayap melingkupiku.

Masih lekat ketika orientasi MABA dan Aku terpukau oleh sosok semampai dengan sorot mata tegas, memancarkan keberanian. Sederhana dan bersahaja. Ia istimewa dan itu yang membuat aku selalu mencuri pandang, berusaha mencipta suasana  dan waktu yang tepat untuk bisa  bertemu dan berbincang dengannya. Seperti pada pagi itu ketika Ia berdebat dengan seorang teman panitia.

Saat itu, 17 Juni 2012 hari ketiga orientasi perkenalan kampus, ia datang terlambat, berlari dengan keringat membasahi separuh kerudungnya.

“Kenapa terlambat….? Sahut Sulaiman

“Maaf…K, tadi…” Ia menundukkan kepalanya

“Tadi apa !!!” Sulaiman mulai geram. Matahari mulai menusuk halaman kampus

“Saya kira belum terlambat kak, jam masuk masih tersisa 5 Menit.”

“Apa!!!Kau kira kampus ini milik nenek moyangmu! memangnya kau siapa? Berani melawan panitia!!!” Sulaiman semakin naik pitam, wajahnya yang berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari semakin merah padam

“Maaf…K’ Aku hanya membela apa yang menurutku benar…karena Aku diajarkan untuk berkata jujur dan melawan ketidakadilan”

Perdebatan sengit antara perempuan berhidung bangir itu dengan Sulaiman terjadi, ia tetap pada pendirianya bahwa dirinya tak bersalah sementara Sulaiman tak akan membiarkan dirinya kalah dengan peserta orientasi, walau akhirnya Sulaiman membiarkannya masuk tapi dengan catatan wajah manis didepannya  harus masuk ke ruang eksekusi.

Ruang eksekusi adalah ruang yang paling menakutkan, dipersiapkan khusus bagi peserta yang dianggap memiliki kesalahan oleh panitia. Tapi ternyata Sulaiman sengaja membuat Mahila terlambat karena ia berniat lain dan Aku mendengar itu dari Hamdan. Hamdan pernah mendengar pembicaraan Sulaiman dan Ali. Sosok perempuan itu ternyata menarik banyak hati .

Bangsat!” Aku berpikir untuk menggagalkan itu dan entah dorongan apa yang membuatku melakukan ini.

Tepat pukul 15.00 peserta  sudah mulai keluar dari ruangan satu per satu, tak terkecuali Mahila namun sebelum  mereka keluar panitia yang memegang mandat pada ruang eksekusi telah memanggil peserta yang melanggar aturan, termasuk perempuan manis itu.

“Baik…adik-adik sekalian, apa kalian sudah tahu kesalahan kalian sehingga masuk dalam ruang ini”? sahut syahdad, lelaki gempal bercambang itu ditunjuk sebagai ketua eksekusi

Tak ada jawaban kecuali tangan mungil yang teracung dari perempuan berkerudung merah di sudut belakang.

“Kenapa?”

“Nama saya Mahila dan saya tidak tahu kesalahan saya, sehingga saya ada di sini, saya masuk di area kampus pukul 13.25 menurut panitia waktu itu ditentukan pukul 13.30 dan itu telah kita sepakati sebagai kontrak antara peserta dan panitia tetapi kenapa saya mendapat hukuman dari senior, saya minta keadilan K.” suaranya lembut dengan nada tegas.

Forum yang saya pimpin saya pending untuk mencari tau nasib perempuan itu dan masuk ke dalam ruang eksekusi. Kutelusuri dari rekan-rekan panitia ternyata itu hanya alasan semata supaya Sulaiman dapat dengan leluasa berhubungan dengan Mahila, dan Aku tidak rela jika itu terjadi dan sekali lagi Aku tidak tau dorongan apa yang membuat Aku berbuat seperti itu. Cepat Aku memanggil Sulaiman dan Mahila agar persoalan tersebut dapat cepat diselesaikan dan kejadian inilah yang menjadi pondasi ketertarikanku, ia bukan perempuan lemah, ia pemberani dan ia memesonaku.

******

Sejak pertemuan di ruang eksekusi itu  Aku tak pernah lagi bertemu dengannya hanya kabar sepak terjang Mahila sebab kampus kami terpisah Mahila di kampus I dan Aku di kampus II sehingga komunikasi tak berjalan dengan baik, tapi rasa yang aneh itu terus membelengguku hingga semester 4 kudengar kabar bahwa ia telah keluar dari kampus, hingga lelahku dititk nadi Aku berhenti mencari tahu tentangnya.

Setahun setelah itu  ketika Aku ber KKN di Kecamatan Marannu di Kabupaten Maros, dusun yang tidak jauh dari kediamanku, aku mendengar kabar tentang keberadaan perempuan yang telah memenjarakan hatiku selama ini

“Ia telah menikah dan dikarunia tiga orang anak.” Kata ibu yang menjadi orang tua asuhku di kampung ini. “Rumahnya dekat kantor desa di sana nak.”

Semakin lama dan semakin banyak informasi tentang Mahila membuat Aku semakin dihimpit sebuah perasaan. Aku remuk.

Kesempurnaan  perempuan itu menarikku untuk mencari tahu kabar itu dan bergegas menuju Dusun Marannu untuk mencari tahu apa betul wacana  tersebut.

******

Mahila masih tertunduk

“Tapi kenapa daeng tak menemuiku, padahal Aku membuka pintu selebar-lebarnya untuk daeng

“Kau telah bersuami Mahila.” Suaraku meninggi. Emosiku seakan lepas.

“Apakah karena itu daeng harus memutuskan tali silaturahim?”

Aku terdiam, tak mampu berkata apa-apa sebab batinku telah redup bersama warta, rasa itu kucelupkan ke dasar laut dan berharap tidak kembali lagi.

“Maaf…Mahila…kupikir semua ini bukan lagi urusanku”

“Aku tahu daeng, bahwa sesungguhnya kekuatan yang ada dalam batinku waktu di kampus harus kutelan mentah-mentah sebab takdir telah menggarisku kejalan ini”

“Apa maksudmu Mahila?”

“Mahila terdiam, Ia beranjak dari sofa dan berjalan, Daeng….pernahkah Daeng merasa sesuatu hal lain dalam hatita?”

Syadad tak mengerti dengan ucapan Mahila, masih dalam diam membisu

“Aku tahu Daeng….Pemikiranmu waktu itu ketika materi leadership tertuju kepadaku, itu kudengar dari sahabatmu, tetapi Aku diam, dan kuperjelas ketika Aku masuk ke dalam ruang eksekusi dimana waktu itu”

“Mahila..waktu di ruang eksekusi itu Aku hanya menjalangkan kewajibanku sebagai seorang panitia, tak lebih dari itu, karena ketidakadilan Sulaiman yang membawamu ke ruang eksekusi itu, karena Aku anggap bahwa kau perempuan yang tegar dan mampu melawan ketidakadilan”

Daeng…Aku tahu bahwa kau tak jujur dengan hatimu, sengaja kau tempatkan lokasi KKN mu di dusun Marannu agar kau tahu kabar dariku, apa benar… Aku telah menikah atau belum?”

Sekali lagi Aku terdiam.

“Dan harus kau tahu  bagaimana kehidupanku pasca pernikahanku, memang kami dikarunai tiga anak, tetapi Aku menjalaninya dengan tersiksa”

Mahila kembali duduk dan mengambil tisu bulir-bulir kristal di sudut sipit matanya tak lagi terbendung. Keheningan kembali meredam nestapa mereka. Luka, rindu menyatu dalam ruang 3 x 3 meter berjendela satu.

Daeng…Aku memendam  rahasia ini, karena Aku tak ingin mengecewakan Tettaku, ia salah satu tokoh masyarakat yang ada di wilayah ini,”

“Memangnya ada apa dengan pernikahan kalian?” Aku mulai tidak mampu menahan rasa yang terus menyerangku. Ia terus tumbuh, menjalar liar ketika matanya yang bening menikam mataku. Garis-garis tegas itu masih tersisa.

“Wahyu itu adalah lelaki yang telah menikah sebanyak tiga kali, Aku adalah perempuan yang kedua setelah pernikahan sebelumnya”

“Brengsek…!” Aku menggeram tak sadar,

“Iya..Daeng…Aku tak sanggup lagi hidup seperti ini, maka ketika Aku mendengar kala itu Daeng KKN di Marannu Aku ingin sekali bersua denganmu, tetapi kekuatanku telah punah dan hari ini Aku memberanikan diri untuk bertemu denganmu” Ia terus mencoba tegar, walau sesekali bulir air matanya jatuh.

“Lalu apa bedanya buatku sekarang, perasaanku tetaplah ruang kosong dihatimu, dan cinta itu telah milik orang lain.”

“Aku telah bercerai”

Mulutku terkatup, kutatap matanya dalam-dalam, perasaanku berkecamuk tak tentu. Aku tahu Mahila seorang perempuan yang tegar, Kartini dan dirinya benar-benar telah menyatu dalam jiwanya. Aku membayangkan bagaimana ia harus menghidupi diri dan ketiga anaknya tanpa keluh kesah dan lelah kecuali kepada Sang Pemberi rezeki. Aku seperti tak menjadi siapa-siapa, tidak mampu lagi menjadi dewa penolong seperti yang kulakukan dua tahun lalu di ruang eksekusi. Aku masih diam dan  memandang langit dan bola raksasa yang memerah dari jendela, angin mengibar kerudung  Mahila dengan lembut.

Mataku mulai sembab dan memerah, amuk rasa dalam diriku seperti gelombang yang terus menghantam karang yang telah rapuh.

“Aku memendam rasa ini Ndi…. sekian tahun, dan kamu tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana tersiksanya Aku,” Aku benar-benar telah ikut menangis.

“Aku tahu…”

“Tapi kenapa kau menghilang dan pergi begitu saja dari warna yang telah toreh dalam-dalam dalam jiwaku…!” kupotong kalimat Mahila dengan emosi yang meluap. Aku belum bisa nenerima hilngnya ia tanpa jejak dua tahun lalu, ketika Aku baru merajut asa dan membangun pondasi cinta dengan susah payah.

Mahila terdiam hanya suara isak tangis yang terus mengalun dan membuat Aku semakin tersiksa.

“Aku selalu mencarimu ditiap terbit dan terbenamnya matahari itu Ndi.., Aku pelihara rasa itu hingga kabar pernikahamu menikam dan meruntuhkan semua yang telah kubangun dengan susah payah.”

“Apa Daeng mengira Aku tidak tersiksa, Aku menikmati semua ini. Sulit melupakan rajutan cinta itu Daeng walaupun hanya sekejap rasa itu kita cicipi, tertanam dalam dan sulit untuk kulepaskan Daeng.” Mahila terus menangis tisu ditangannya telah habis.

Aku kembali tertegun, kusingkap kebersamaan kami kala itu, memang sebentar dan tidak pernah ada kalimat-kalimat romantik, tidak  ada bunga dihari ulang tahunnya, tidak ada coklat dihari valentine, dan tidak ada short message berbunga-bunga selama kebersamaan kami. Demonstrasi, orasi dan kajian-kajian yang mengisi hari hari itu dan semakin aku mengenang semua itu semakin dalam luka merasuk ke dalam tubuhku.

“Kamu sebetulnya suka sama Aku atau tidak…?” Tanya Mahila padaku suatu waktu

dan Aku menjadi salah tingkah dan tidak mampu berkata apa-apa.

“Apa perlu rasa suka itu diungkapkan, bukankah tindakan lebih bermakna dari pada kata-kata.” Aku mencoba menyembunyikan rasa kikuk yang menyergapku.

Dan kejadian dua tahun lalu itu kembali menyergapku sekarang , membuat Aku kikuk dan serba salah, Aku marah tapi jujur Aku masih menyayangi dia.

“Tapi kenapa kamu menikah tanpa berita.” Aku masih belum puas. “setidaknya kamu meninggalkan Sure Pappikatu untukku.”

“Aku terpaksa Daeng, karena kakak perempuanku yang seharusnya menikah hari itu lari bersama kekasihnya, dan aku harus menutup aib keluargaku.”

Aku termangu, air mata Mahila tumpah ruah dibahuku, meleburkan marah dan dendamku ke dalam pelukan kasih sayang setelah kutahu cinta kami dileburkan Ade Massampo Siri keluarga.

Maros, 30 April 2013

Indra Anwar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun