Pemilihan umum legislatif tahun ini baru saja usai. Meskipun hasil akhir penghitungan suara resmi dari KPU (Komisi Pemilihan Umum) belum diumumkan, namun hasil hitung suara cepat “Quick Count” dapatlah dijadikan pegangan kira-kira partai mana yang akan memenangkan pemilu legislatif kali ini. Secara umum, pemilu kali ini relatif berjalan lancar, aman, dan kondusif dibanding pemilu periode sebelumnya. Namun demikian, tetap ada hal-hal yang patut dijadikan bahan evaluasi agar pemilu periode berikutnya dapat berjalan lebih baik.
Salah satu hal yang dapat menjadi perhatian adalah fenomena politik uang atau yang lebih dikenal dengan istilah populer “Money Politic” atau “Serangan Fajar”. Sepertinya, fenomena ini tidak bisa dipisahkan dari rangkaian peristiwa pemilu. Setiap pemilihan umum digelar, baik itu pemilihan umum kepala daerah ataupun anggota legislatif, money politik selalu menjadi isu yang tidak ada habisnya. Seakan-akan hal tersebut adalah senjata utama dan jurus terakhir yang harus dikeluarkan dalam pertarungan oleh para elit politik menuju singgasana yang dikehendaki.
Praktik money politik yang terus tumbuh subur di negeri ini tidak lain karena mendapat sambutan hangat dari sebagian masyarakat yang dengan senang hati menerima uang sogokan tersebut. Ibarat api yang akan terus membesar jika membakar rumah yang terbuat dari kayu, aktivitas sogok uang akan terus merajalela jika masyarakat mau menjadi objek dari praktik itu.
Lucunya, ketika berbicara tentang kasus korupsi yang dilakukan oleh sejumlah pejabat di Indonesia, segenap masyarakat dari segala penjuru tanah air akan sepakat untuk menebarkan kebencian kepada orang-orang tersebut. Mereka juga akan melabelinya dengan satu kata, Koruptor, meskipun secara hukum orang-orang tersebut masihlah dalam tahapan persidangan dengan status tersangka ataupun terdakwa. Kemudian jika diadakan sebuah survei ditengah-tengah masyarakat tentang pandangan mereka mengenai korupsi, sepertinya dapat dipastikan bahwa 90% masyarakat kita akan satu suara untuk menolak praktik korupsi.
Namun seperti yang biasa terjadi, apa yang menjadi sebuah teori belum tentu relevan dengan kenyataan di lapangan. Apa yang dengan mudah di ucapkan belum tentu senada dengan apa yang ada di pikiran. Dalam pemilu legislatif tahun ini saja contohnya, masih banyak masyarakat kita yang dengan bangganya mengungkapkan bahwa mereka mendapat sejumlah uang dari caleg tertentu. Tidak sedikit juga masyarakat yang mengaku menerima uang dari empat calon karena empat surat suara yang harus mereka coblos. Bahkan yang lebih vulgarnya lagi, secara terang-terangan masyarakat dari beberapa tempat di negeri ini memasang spanduk bertuliskan “Menerima Serangan Fajar”.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa sebagian masyarakat bangsa ini berwajah dua. Di satu sisi mereka layaknya para malaikat yang selalu menasbihkan kata-kata kebajikan, namun disisi lain mereka juga adalah kepingan hitam yang suka mengotori tangan-tangan mereka dan cenderung bersikap apatis terhadap dampak lanjutan dari perbuatan tersebut. Ironisnya ketika aksi-aksi upaya penolakan tindak pidana korupsi dengan gencarnya mereka gaungkan, di sisi lain mereka justru terlibat sebagai pemain aktif dalam tindakan kejahatan luar biasa ini meskipun uang yang mereka terima tidak sebesar yang diterima para skandal kasus suap di lingkungan birokrasi sana. Namun intinya tetaplah sama, mereka adalah pemain dalam aktivitas suap menyuap yang sering disebut sebagai inti atau bentuk dasar dari tindak pidana korupsi ini.
Jika kita menilik dari unsur kebahasaan, Suap (bribery) berasal dari kata Briberie (Prancis) yang artinya adalah mengemis (begging) atau penggelandangan (vagrancy). Dalam bahasa Latin disebut pula dengan kata Briba yang berarti sepotong roti yang diberikan kepada pengemis (a piece of bread given to beggar). Sehingga, seseorang yang memahami makna dari kata SUAP tersebut sebenarnya harus malu jika terlibat dalam perbuatan suap menyuap karena makna yang sangat tercela dari kata tersebut dan sangat merendahkan martabat manusia, terutama penerima suap.
Bukan sebuah rahasia umum lagi jika praktik korupsi di negara ini tidak hanya dilakukan oleh oknum-oknum yang berada di pucuk pimpinan, melainkan juga telah merambah ke level akar (masyarakat biasa). Jika hal ini tidak segera dihentikan, bukan tidak mungkin bangsa ini akan dipenuhi oleh komunitas koruptor. Selama money politik di negeri ini masih ada, maka selama itu pula lengkingan-lengkingan anti korupsi hanyalah oase di tengah gurun birokrasi Indonesia yang gersang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H