Mohon tunggu...
Indra Himawan Adlan
Indra Himawan Adlan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

~mahasiswa perguruan tinggi di Jakarta\r\n~mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Gara-Gara AEC 2015

27 Maret 2014   00:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:25 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignnone" width="220" caption="(sumber: guruipsgempol1.files.wordpress.com)"][/caption]

Terhitung mendekati 9 bulan lagi, ASEAN Economic Community (AEC) akan diresmikan oleh seluruh kepala negara di ASEAN yang terdiri dari 10 negara yang menyatakan berpartisipasi. Indonesia pun akan diwakili oleh kepala negara baru hasil pesta demokrasi nasional 2014. Terhitung ada 6 negara di ASEAN yang siap secara langsung untuk mengintegrasikan sistem di negaranya dengan sistem yang sudah disepakati bersama dalam blueprint ASEAN Communities 2020, diantaranya adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei-Darussalam dan Filipina. Sedangkan Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam akan mengintegrasikan sistemnya dengan beberapa penyesuaian sebelum akhirnya akan mengintegrasikan penuh dengan blueprint pada kesepakatan awal.

AEC 2015 sendiri merupakan sebuah inisiasi untuk menyongsong ASEAN Community 2020. Nantinya akan disusul dengan dua sistem sejenis yaitu ASEAN Securities Community dan ASEAN Socio-Culture Community. Tujuannya secara sederhana adalah kerja sama di antara negara anggota ASEAN untuk meningkatkan kemakmuran, pembangunan fisik dan non fisik dan memperkecil jarak ketimpangan tingkat pertumbuhan ekonomi antar negara anggota ASEAN. Hal ini merupakan sebuah kesepakatan yang sebenarnya melihat kesuksesan sistem-sistem sejenis di benua lain seperti European Union (EU).

Pertanyaan yang biasa timbul selanjutnya adalah apa program yang dicanangkan AEC 2015 ini? Apa keuntungan dan kerugian yang akan didapat oleh masyarakat Indonesia pada khususnya? Pertanyaan pertama mungkin terlihat mudah untuk dijawab, tetapi untuk pertanyaan kedua rasanya sulit karena kita belum merasakannya, hanya terus berulang kali membuat prediksi.

Inti dari program yang ada dalam AEC 2015 adalah liberalisasi ekonomi. Segala bentuk transaksi baik berupa barang, jasa, modal, investasi termasuk tenaga kerja dan sumber daya lainnya dibebaskan mengalir di antara negara ASEAN. Tujuannya adalah agar terbentuk ekonomi ASEAN yang hanya memiliki satu pasar dan terbentuk juga basis produksi yang kuat. Jika dipikirkan memang akan lebih mudah bagi pemerintah untuk mengatur dan mengontrol pasar yang cenderung sejenis daripada pasar yang heterogen.

Tentu dalam benak para ekonom beraliran liberal, hal ini sangat menguntungkan karena keseimbangan pasar tidak akan menjadi bias oleh segala bentuk campur tangan pihak lain diluar konsumen dan produsen. Kualitas barang, jasa maupun faktor produksi yang tersedia di masing-masing negara juga secara otomatis akan meningkat seiring meningkatnya persaingan, dari domestik menjadi regional.

Free Flow of skilled labor

Khusus permasalahan mengenai transaksi skilled labor atau tenaga kerja terdidik, benar-benar hanya skilled labor yang dibebaskan. Lantas, apa yang dipikirkan oleh Presiden RI pada saat itu menanda-tangani hasil pertemuan Bali Concorde II Oktober 2003 silam? Apakah ia sudah benar-benar mempertimbangkan dengan baik dampak dari pembebasan aliran skilled labor di Indonesia dari luar negeri khususnya ASEAN? Jika jawabannya sudah dan alasannya hanya berdasarkan optimisme, rasanya kurang masuk akal. Data menunjukan bahwa pada tahun 2013 ada 150.236 TKI yang ditempatkan di Malaysia, 34.655 ditempatkan di Singapura dan 11.269 ditempatkan di Brunei. Jika dihitung secara kasar kurang lebih Indonesia menempatkan 220 ribu orang di seluruh ASEAN sebagai TKI.

1395828595164334823
1395828595164334823

Sumber : PUSLITFO BNP2TKI

Dalam data dari PUSLTIFO BNP2TKI tersebut lebih lanjut proporsi TKI yang bekerja di sektor formal dan informal pada tahun 2013 sudah didominasi oleh sektor formal dengan perbandingan 56%:44%. Hal ini terus mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Hanya saja tentu ini bukan hal yang membanggakan jika kita melihat tingkat pendidikan para TKI yang mayoritas adalah tamat SMP dan tamat SD.

Hanya beberapa provinsi seperti provinsi Gorontalo yang mayoritas TKI sudah lulus SMA dan hanya provinsi Bali yang TKI-nya mayoritas merupakan lulusan Diploma. Ini yang memprihatinkan, sudah pasti jika tingkat pendidikannya rendah, jabatan yang diperoleh pun akan rendah. Dalam data selanjutnya berdasarkan 20 jabatan terbesar TKI, mayoritas sebagai berikut :

1395828741837255668
1395828741837255668

Sumber : PUSLITFO BNP2TKI

Dengan jabatan tersebut rata-rata TKI mendapatkan gaji sebesar Rp 3-7 juta dalam satu bulan. Akan tetapi, gaji tersebut belum termasuk manfaat lainnya seperti asuransi kesehatan dan jaminan keselamatan kerja. Jika dibandingkan dengan data ekspatriat khususnya yang berasal dari daerah ASEAN, sangat kontras terlihat dalam tabel berikut :

1395828903661999477
1395828903661999477

Sumber : PUSLITFO BNP2TKI

Ada 3 negara ASEAN dalam tabel tersebut yang menyumbang jumlah tenaga kerja yang cukup signifikan. Total sekitar 16.000 lebih ekspatriat asal negara ASEAN yang bekerja di Indonesia. Saya merupakan mahasiswa akuntansi juga sudah mendengar kabar bahwa di beberapa Kantor Akuntan Publik (KAP) di Indonesia, sudah banyak para filipinos (orang filipina –red) yang bekerja dan mahir bahasa Indonesia. Berikut kutipan artikel dari portal berita online beberapa waktu yang lalu :

Meskipun sektor perburuhan masih terlilit masalah tahunan, yakni penetapan upah minimum, Indonesia menempati posisi tertinggi dalam tingkat keloyalan pemberian gaji kepada tenaga asing. Menurut survei yang dilakukan HSBC Expat, Indonesia menempati posisi tertinggi dalam pemberian gaji kepada para ekspatriat, yakni di atas USD 250 ribu atau sekitar Rp 3,9 miliar per tahun atau Rp 325 juta per bulan.
Dalam survei tersebut, dikatakan jumlah pekerja asing yang menerima gaji sebesar itu di Indonesia sebanyak 22 persen. Angka tersebut lebih tinggi daripada di Jepang yang proporsinya 13 persen dan Tiongkok dengan 10 persen. Berdasar survei itu, HSBC memasukkan Indonesia ke dalam negara-negara yang diminati para ekspatriat”

(Sumber : jpnn.com 4 Nov 2013)

Terlihat ada disparitas yang sangat besar antara penghasilan yang diterima pekerja WNI dan pekerja ekspatriat yang bekerja di Indonesia. Anggaplah gaji pokok seorang direksi perusahaan swasta yang rata-rata sekitar Rp 60-100 juta. Dengan posisi yang sama, jika direktur tersebut adalah orang luar negeri, sesuai dengan artikel tersebut gajinya akan disesuaikan dengan kurs US dollar bahkan ada yang memang direktur tersebut dibayar dengan uang dollar. Sangat mahal dan menguras kekayaan perusahaan dalam negeri.

Wajar saja pihak Kemenakertrans sampai geram dengan perusahaan-perusahaan nasional yang menggaji para ekspatriat begitu tinggi. Pihak Kemenakertrans juga menampik apabila ekspatriat sangat mudah memperoleh izin kerja. Mereka mengatakan bahwa ada penurunan jumlah pekerja asing karena prosedur izin kerja yang sulit, kewajiban mahir bahasa Indonesia dan pajak penghasilan PPh 26 yang sifatnya final sehingga jumlahnya besar. Tetapi saya masih yakin bahwa Indonesia masih menjadi magnet tersendiri bagi ekspatriat untuk bekerja. Selain gaji, biaya hidup di sini sangatlah murah serta kehormatan mereka sebagai “produk asing” sangat-sangat terjaga bahkan cenderung hiperbolis di mata para WNI.

Jika kita berbicara mengenai penghasilan seorang tenaga profesional, ada sebuah sumber terpercaya yang membandingkan gaji seorang guru di Indonesia, guru di Malaysia dan guru di Singapura. Di Indonesia, setelah adanya remunerasi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, seluruh guru PNS pemula dengan gelar S1 akan mendapatkan gaji pokok sekitar Rp 4 juta setiap bulannya.

Di Malaysia seperti yang dikutip dari kompas.comtanggal 28 April 2010 pada saat itu gaji seorang guru pemula dengan gelar D3 adalah sekitar Rp 5 juta setiap bulannya dengan kurs saat itu. Mungkin sekarang sudah disesuaikan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi Malaysia, bisa saja sudah mencapai Rp 7 juta dengan kurs hari ini. Perbandingan mendasarnya, gaji guru Malaysia tersebut sudah sangat mencukupi karena taraf hidup layak di Malaysia untuk seorang pekerja tidak kawin sekitar Rp 3 juta pada saat itu. Jika dibandingkan dengan gaji guru di Singapura yang berkisar Rp 20 – 40 juta per bulannya.

Lalu apa keuntungannya bagi Indonesia? Jelas ini merupakan peluang bagi para guru, dosen, peneliti, dokter, akuntan, insinyur dan tenaga profesional lainnya untuk bekerja mencari penghasilan yang lebih tinggi di negeri orang. Akan tetapi, justru Indonesia menjadi ladang yang menarik bagi pekerja profesional dari negara tetangga karena mereka lebih dihormati selain gaji yang lebih besar daripada pekerja lokal.

Ini yang menjadi masalah. Saya sangat berharap dengan adanya AEC 2015 ini, ada standarisasi gaji yang tidak memandang lagi asal negara seorang pekerja sesama anggota ASEAN. Jangan sampai setelah dicanangkan AEC 2015, ada perbedaan yang mencolok soal gaji pekerja. Saya sampai mempunyai pemikiran ekstrem mengenai hal ini. Jika AEC 2015 sudah berjalan, saya akan dengan mudah menemukan klinik dokter swasta yang dokternya berasal dari Malaysia, Vietnam, Thailand ataupun Filipina dan mereka menerapkan standar biaya jasa dokter sesuai dengan kurs dollar. Akan menjadi sangat mahal untuk ukuran orang Indonesia mendapatkan akses kesehatan swasta, mengingat fasilitas kesehatan pemerintah yang terbatas kapasitas dan teknologinya pada saat ini.

Terlebih lagi jika seluruh klinik dokter swasta yang independen menerapkan hal yang sama mengenai biaya jasa dokter, walaupun dokter lokal juga tetap saja mahal karena harga mengikuti kurs dollar. Saya berharap walaupun mereka berpaspor non-WNI, karena sudah berjalan AEC 2015 serta mereka berasal dari negara anggota ASEAN, mereka harus digaji sesuai dengan standar lokal gaji seorang WNI. Minimal mengikuti UMR.

Kembali ke masalah Tenaga Kerja Indonesia. Entah mengapa sangat sulit bagi orang Indonesia untuk tinggal dan menetap di suatu negara dengan ras yang non-kaukasoid. Apalagi negara ASEAN ini yang terhitung maju hanya Singapura dan Brunei-Darussalam. Malaysia memang sudah bagus tetapi baru mengarah ke negara maju, sedangkan Indonesia masih terhitung negara berkembang.

Berbeda kultur dengan orang China yang sangat berani mengambil risiko untuk mencari rezeki di negara orang. Tetapi itulah keberhasilan mereka secara ekonomi makro yang akhirnya mendongkrak pendapatan nasional bruto negaranya karena mereka terhitung mendatangkan devisa yang sangat banyak dengan sistem merkantilis yang dianut.

Secara ekonomi, kita bisa saja menganggap bahwa AEC 2015 menguntungkan jutaan tenaga profesional Indonesia yang ingin mencari penghasilan lebih tinggi. Namun, hambatannya, selain permintaan tenaga kerja yang tidak seberapa dari negara tetangga, adanya budaya “jago kandang” yang dianut bangsa Indonesia sehingga tidak mau pergi meninggalkan negaranya untuk selama-lamanya.

Orang Indonesia memang cinta keluarga dan sangat defensif mengenai agama yang dianut, sehingga perbedaan kultur terlebih agama dan adat akan sangat mengganggu mereka. Ini yang harus dipertimbangkan oleh Presiden dan Kementerian terkait, meskipun mereka mengatakan ini langkah optimis agar kualitas skilled labor Indonesia setara dengan skilled labor negara tetangga yaitu Singapura dan Malaysia. Jangan sampai AEC 2015 ini menjadi sebuah blunder terutama dalam sektor ketenagakerjaan.

Secara pribadi, sudah benar dalam AEC 2015, unskilled labor tidak dibebaskan alirannya karena secara kualitas, TKI masih lebih bagus daripada tenaga kerja asal Laos atau Kamboja sehingga jika dibebaskan malah akan membludak jumlah buruh di Indonesia. Padahal, Indonesia sendiri masih kekurangan lapangan pekerjaan yang padat karya.

Akan tetapi, jika semi-skilled labor yang dibebaskan, tentu Indonesia sudah memiliki modal yang cukup karena TKI Indonesia pada saat ini sudah terampil berkat banyaknya pelatihan-pelatihan dari agen resmi yang mumpuni. Sumber daya manusia yang dimiliki juga sangat lebih dari cukup sehingga saya yakin Indonesia akan lebih unggul daripada para tetangganya di ASEAN, tetapi butuh peran pemerintah yang besar untuk membuat para SDM ini mau mencari kerja keluar negeri atau tinggal bahkan menetap di sana selama-lamanya

Pada kesimpulan akhir timbulah sebuah pertanyaan sederhana, klasik tetapi sulit untuk dijawab. Masihkah menguntungkan AEC 2015 untuk para angkatan kerja Indonesia? Tentu kita harus merasakannya terlebih dahulu karena banyak faktor diluar dugaan. Jangan sampai timbul pernyataan, “Gara-gara AEC 2015 saya menjadi pengangguran, saya digantikan oleh tenaga kerja dari negara tetangga!” Optimis? Mungkin. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun