Mohon tunggu...
Indra Gunawan
Indra Gunawan Mohon Tunggu... -

mencari ilmu, beribadah, dan bermanfaat !!!!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tembok Besar Yang Putih Dalam diriku

7 Oktober 2014   03:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:07 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Yang saya tangkap setelah saya membaca buku berjudul makrifat cinta, saya semakin mendapat kemantapan hati tentang hakikat manusia, buku yang mengajarkan pada tasawuf sangat sukar dipahami apalagi bagi seorang awam seperti saya, tapi tekad untuk memahami intisari yang disajikan Candra Malik dalam bukunya itu tidak mengahalangi benteng tinggi untuk melihat dunia tasawuf prespektif Candra Malik.

Pemahaman saya mengenai manusia mungkin akan dinilai mirip dengan teori tabula rasa tapi ini saya bukan john locke, dan ini pemahaman saya bukan juga candra malik, pemahaman yang saya bangun dari berbagai literatur yag hampir sama dengan buku makrifat cinta dan pemahaman yang muncul dari pengalaman saya.

Manusia itu seperti tembok putih besar, ketika manuisa lahir ia dalam keadaaan suci, sama halnya dengan si tembok ketika ia baru saja dibangun ia dalam keadaan putih bersih, seiring berjalanya waktu tembok pun berhadapan dengan debu yang dibawa angin, karena pada hakikatnya tembok itu tidak tinggal sendirian, ditempatnya ada yang lain selain dia, sama halnya dengan si bayi beranjaknya umur si bayi pun, juga akan berhadapan dengan debu-debu dunia, adanya debu- debu duna menjadi dasar untuk menyimpulkan bahwa bayi tidak tinggal sendiri, ada debu dunia yang didalamya membentuk suatu hubungan antar semua unsur-unsur yang ada di dunia, itulah yang membenntuk kehidupan. Sama halnya dengan si tembok tidak cuma debu saja, ada juga lumut, tetesan air hujan dan yang lain yang itu semua adalah sautu unsur pembentuk noda atau dosa.

Semakin lama tembok berdiri semakin banyak kesempatan untukmendapat noda, semakin lama manusia hidup semakin banyak kemungkinan untuk berbuat dosa. Sebenarnya bukan masalah nodanya tapi masalah manusia nya yang banyak dari manusia itu tidak memahami bahkan mengerti pada hakikatnya ia terlahir seperti tembok putihyang besar sehingga ketika si tembok putih itu penuh dengan nodanya, banyak dari manusia malah asik dan terjerumus dengan noda itu, semakin mereka bermain dengan noda itu,akan menambah kemungkinan si noda semakin luas dalam tembok.

Bukan masalah tentang berfikir bukan juga mengupas masalah dengan hati nurani, tapi berusaha memahami noda dengan renungan hati dan pikiran, itulah alsaan pertanyaan sepele“mengapa banyak manusia masih tertipu oleh gemerlapnya dunia ?”. kalau kita diberi kesempatan untuk merenung lebih dalam tentang hal ini kita mungkin akan sadar tentang tugas kita sebagai kholifah di bumi kita juga jangan lalai utuk menjaga diri kita sendiri. Kita harus selalau waspada dalam kondisi terjaga untuk senanantiasatanggap dalam mengahapus noda dan dosa dalam diri kita, setelah kita bisa memahami ini, baru kita berorientasi pada tahap untuk merenungkan bagaimana cara kita untuk menjaga tembok kita agar selalau bersih tanpa noda.

Pada titik tertentu manusia akan mengalami penyingkapan atau dibukanya segala rahasia. Sebelum lebih mendalam pada ttitik itu alangkah baiknya jika mendalami dulu titik dimana kita menyadari untuk menjaga kebersihan diri kita. Pada tahapan itu kita pasti sudah memikirkan tentang siapakah pembangun tembok itu, untuk apa tembok itu dibuat, kapan tembok itu roboh dan kenapa tembok itu harus roboh ?.

Pada dasarnya dalam diri manusia ada sesuatu yang menggerakan manusia itu sendiri, sang aku dalam makrifat cinta menyebutnya. Dan semua ada tidaklah ada dengan sia-sia, ada tujuan dibalik itu. Sesuatu yang ada dalam diri manusia itu memiliki asal dan pasti akan kembali ke asalnya kembali pada pemiliknya. Sebelum kembalinya sesuatau itu, manusia harus mempersiapkannya, dan menjamin bahwa temboknya dalam keadaaan bersih, Al quran sebagai sumber dari segala sumber bisa menjadi pedoman untuk mendaptkan keduanya, banyak manusia yang lalai dengan hal itu sehingga ia membiarkan sesuatu itu kembali dengan keadaan kotor pada temboknya, mereka tidak memikirkan dirinya sendiri tidak mau memahami dirinya sendiri, sehingga dirinya kosong yang menyebabakan tidak adanya pengawasan kepada dirinya.

Aku itu harus selalu dekat dengan sang maha aku agar aku tidak tersesat di dunia ini, maka akupun harus menjaga tembok ku agar aku selalu didekatnya. Jika seterusnya tembokku bersih dan aku berada bersama sang maha aku, maka sang maha akupun berada dengan aku, tetapi tidak menjadi satu. Dengan kondisi itu sebenarnya aku ini adalah cerminan dari sang maha aku, apa yang aku lakukan sudah menjadi kehendak sang maha aku dan akupun selalu terisi tidak kosong sehingga aku terjaga dan mendapat pengawasan dari diriku, dari situlah sang maha aku bersedia bersama ku, apa yang aku perbuat adalah sang maha aku, sehinggaketika aku harus kembali ke asalku akupun akan mudah mendapat jalan ke rumah ku karena sebelum aku pulang aku sudah bersama sang maha aku sang pemilik dari segala sesuatu dan aku sudah menjaga temboku untuk untuk tetap putih seperti apa yang dulu diberikan sang pemilik dari segala sesuatumemberikanya pada ku untuk mengurus kehidupan di luar rumah abadi ku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun