Dulu ada pertanyaan yang selalu penulis ajukan untuk bahan diskusi bersama beberapa tokoh nasional di sektor migas. Pertanyaan tersebut terkait kualitas sumber daya manusia yang berada di sekitar WK Migas yang rendah.
Penulis berkunjung ke Bekasi, tempat salah satu WK Migas perusahaan nasional. Saat sesi tanya jawab, penulis bertanya “Lalu, apa yang menjadi masalah utama perusahaan selama melakukan kegiatan produksi?”. Beliau yang menjabat posisi tertinggi di wilayah kerja perusahaan tersebut menjawab “Dari segi teknik dan teknologi, sebenarnya tidak ada masalah yang berarti Mas. Justru masalah utamanya adalah masyarakat sekitar yang terlalu sering mengganggu kegiatan lapangan. Padahal, kami sudah sering melakukan kegiatan sosial bagi masyarakat di sekitar”.
Mendapat jawaban yang "memuaskan” seperti itu, penulis teringat saran seorang pengajar di tempat belajar sekarang. “Coba kamu ke daerah Subang, lihat masyarakat nyuri minyak dari pipa yang menuju Balongan”. Lalu ini masalahnya di rakyat?
Menyimak jawaban seorang bapak yang pernah menjabat sebagai pemangku kebijakan tertinggi di sektor energi di negara ini. Beliau mengatakan “Sektor migas adalah sektor yang resiko pengusahaannya sangat tinggi. Jadi yang paling penting adalah bagaimana pengusahaan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang latar pendidikannya tinggi dan skillnya jelas. Kemudian, baru soal bagaimana pengusahaan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang seperti saya sebutkan di atas, dan memiliki kewarganegaraan Indonesia. Sebenarnya yang anda bilang tidak sepenuhnya benar, misalnya di Riau, Kalimantan Timur dan Jawa Tengah, telah ada sekolah tinggi migas. Harapannya, masyarakat di sekitar sana bisa melanjutkan pendidikan di sekolah-sekolah tersebut.”
Terakhir soal diskusi penulis dengan seorang bapak yang pernah memimpin salah satu institusi penyelenggara lomba blog ini. Beliau menjelaskan “Persoalan ketimpangan sumber daya manusia di daerah seperti pertanyaan kamu sebenarnya tergantung pada kebijakan atau sistem pendidikannya, dan bukan urusan sektor migas. Banyak putra daerah yang tidak terdidik untuk mengerjakan pekerjaan migas yang sesuai didikannya dan resiko kerja di sektor migas itu tergolong tinggi. Tentunya perusahaan mempertimbangkan kualitas sumber daya manusia terlebih dahulu”
Setelah mendapat feedback dari tokoh-tokoh tersebut. Penulis makin sadar bahwa kualitas sumber daya manusia di sekitar WK Migas memang rendah karena tidak “terdidik”. Mungkin kesadaran penulis ini yang juga menjadi alasan bagi pemerintah untuk mendirikan institusi pendidikan menengah ke atas di Riau dan Kalimantan Timur, yang merupakan "lumbung migas". Walaupun terlambat, pendirian Sekolah Tinggi Migas (SMK atau STM) di dua daerah tadi setidaknya bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui skenario sederhana; entah lulusan SMK bisa langsung bekerja di KKKS yang mengelola WK migas di daerahnya dan produktivitas mereka bertambah; atau lulusan langsung mengambil pendidikan yang lebih tinggi (sarjana) dengan biaya dari KKKS, setelah lulus sarjana bisa kembali lagi untuk mengabdi di KKKS atau daerahnya.
Sayangnya, penyebaran jumlah Sekolah Tinggi dan Perguruan Tinggi khusus migas di Indonesia masih bisa dihitung jari. Sebagian besar berada di Jawa, 3-5 institusi di Sumatera dan 1 institusi di Kalimantan. Adapun institusi sejenis di Kawasan Timur Indonesia nihil. Bahkan, setelah penulis coba mencari informasinya di internet, untuk level perencanaan saja tidak ada.
Seiring dengan tren pengusahaan migas yang bergeser ke Kawasan Timur Indonesia. Pemerintah perlu mendirikan satu atau dua institusi setara pendidikan menengah ke atas yang fokus di migas, mungkin nantinya bisa bekerjasama dengan satu KKKS yang beroperasi di sana. Kekhususan institusi tersebut adalah di bidang jasa perminyakan lepas pantai, sesuai dengan karakter geografis Kawasan Timur Indonesia.
Seandainya institusi pendidikan sudah ada dan terasa mencukupi, lalu selanjutnya soal apa? Ini terkait diskusi penulis bersama seorang yang pernah bekerja di jasa perminyakan lepas pantai. Iseng bertanya soal perbedaan kualitas tenaga kerja perminyakan Indonesia dengan tenaga kerja asing. Lama berpikir kemudia dia menjawab “Gaji sih mas yang beda, kalo bule jelas lebih besar. Kalo soal kemampuan, saya bisa pastikan kita tidak jauh berbeda”.
Penulis kembali teringat dengan penjelasan seorang bapak yang pernah menjadi direktur salah satu KKKS. Satu perkataan beliau yang penulis kutip adalah “Bangsa ini punya masalah soal kepercayaan pada saudara sendiri”
Pada akhirnya penulis tarik suatu kesimpulan ditengah alur tulisan yang zig-zag ini. Kata kuncinya adalah kepercayaan dan pendidikan. Ketika rakyat tidak percaya dengan pengelola WK Migas, maka mereka hanya minta duitnya. Solusi hal pertama adalah pendidikan. Nah, jika pemerintah yang tidak percaya dengan pengelola WK migas, tapi mereka tetap minta duitnya. Solusi hal kedua adalah? Wah... wah... wah... ini konspirasi tingkat tinggi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H