Dulu, bila ada sarana prasarana umum yang hendak dibangun, misalnya infrastruktur jalan, jembatan dsb, maka warga masyarakat akan membangunnya dengan cara swadaya, gotong royong bahu membahu. Biayanya didapat dari hasil patungan warga, sumbangan dari donatur atau dari pihak lain yang tidak mengikat.Â
Pembangunan kadang-kadang dilaksanakan spontanitas tanpa perencanaan sebelumnya, serba dadakan dan sering kali berawal dari obrolan di warung kopi yang langsung ditindaklanjuti. Sementara itu pemerintah desa mendukung kegiatan swadaya masyarakat tersebut dan memberikan stimulan bantuan dana yang bersumber dari "iuran desa". Karena kala itu bantuan dari pemerintah baik pusat, provinsi maupun daerah yang mengucur ke desa masih tergolong kecil.
Pembangunan dengan cara swadaya masyarakat hasilnya cukup memuaskan. Biasanya infrastruktur yang dibangun dengan cara ini mampu bertahan lama.Â
Lain dulu lain sekarang. Kini desa menjadi primadona, Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa semakin memperkuat posisi desa dalam prioritas pembangunan nasional. Bermacam-macam  bantuan dana  untuk desa mengalir deras dari pemerintah pusat, provinsi maupun daerah. Sebut saja Dana Desa (DD), Dana Bantuan Provinsi (Banprov), Alokasi Dana Desa (ADD), BKU D/K, dan lain-lain. Jika ditotalkan bisa mencapai dua milyar rupiah lebih per desa. Dana tersebut dialokasikan untuk penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat dan pembinaan kemasyarakatan. Situasipun berbalik, jika dulu panitia yang sibuk mencari dana untuk membiayai pembangunan, maka sekarang ini justru dana-lah yang mencari lokasi untuk dibangun.
Bantuan langsung kepada masyarakat juga terus diberikan oleh Kementerian Sosial, seperti PKH, RASTRA, BSM dll. Sejalan dengan itu, upaya perbaikan sistempun dilakukan. Sebelumnya dana bantuan langsung kepada masyarakat dicairkan melalui kantor pos, maka pada tahun 2017 ini terjadi pergeseran sistem, pencairan dana kini telah menggunakan ATM BRI dengan rekening atas nama masing-masing penerima bantuan. Kabarnya pada tahun 2018, pemerintah pusat akan menerbitkan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang berfungsi sebagai Voucher. Kartu ini bisa digunakan untuk keperluan belanja Sembilan Bahan Pokok (sembako) di tempat-tempat yang sudah menjalin kerjasama dengan bank milik pemerintah tersebut.
Pada sektor lainnya, masih ada program-program dari kementerian selain kementerian sosial yang menyentuh desa. Belum lagi dari dinas-dinas provinsi dan kabupaten/kota, melengkapi hingar bingar pembangunan perdesaan.
Pemerintah pusat diikuti oleh Provinsi dan Kabupaten menghendaki agar pemerintah desa tidak berpangku tangan dengan mengandalkan bantuan dari pemerintah saja. Desa harus bisa mandiri serta dapat mengoptimalkan potensi sumber daya alam maupun potensi usaha lainnya yang ada di wilayah desa masing-masing. Desa harus berperan aktif dalam upaya meningkatkan perekonomian masyarakat. Untuk mewadahi kegiatan usaha tersebut, maka Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) harus berdiri di tiap-tiap desa. Kehadiran BUMDes dengan manajemen yang baik, diharapkan mampu meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADes). Selanjutnya hasil usaha dikembalikan lagi untuk kepentingan pembangunan sesuai dengan program desa masing-masing. Salah satu desa yang telah berhasil mengelola BUMDes adalah desa Panggungharjo di kabupaten Bantul.
Kendati demikian, untuk memastikan dana bantuan yang mengalir ke desa tepat guna dan tepat sasaran, pembangunan mental masyarakat di tingkat bawah juga mesti diperhatikan, hal ini menjadi penting setelah diketahui bahwa pola hidup masyarakat di kita cenderung konsumtif daripada produktif.
Tidak sedikit warga yang masih bermental miskin dan konsumtif, mereka mendadak memiskinkan diri (mengaku miskin) tatkala ada pendataan warga miskin. Tentu dengan harapan akan mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Padahal warga tersebut memiliki kendaraan roda dua, TV bahkan kadang lemari es nongkrong di rumahnya. Pantas saja angka kemiskinan sulit ditekan. Kriteria miskin menjadi bias pada titik tertentu.
Saya pernah menuangkan suatu pertanyaan dalam sebuah artikel yang tayang di kompasiana beberapa minggu lalu, tentang kategori miskin untuk masa sekarang. Berikut saya kutip : "Yang menjadi permasalahan adalah kategori miskin itu sendiri, sebetulnya orang miskin zaman now itu batas tertingginya di mana sehingga dia masih bisa disebut orang miskin ?. Lalu orang tidak miskin itu limit terendahnya pada titik apa, sehingga orang itu berhak mendapatkan predikat tidak miskin ?"[Gas Bersubsidi Langka, Fenomena Apa?, Indra Suhu]. Kriteria miskin mungkin harus dikaji ulang.
Melengkapi itu semua, kualitas aparatur pemerintahan desa juga semakin ditingkatkan. Salah satu upaya peningkatan kualitas tersebut adalah dengan mensyaratkan pendidikan minimal SLTA/sederajat bagi aparat desa.Â