Mohon tunggu...
INDRA
INDRA Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Mahasiswa tahun kedua program studi Teknologi Hasil Hutan di IPB University

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cahaya di Balik Topeng Las

29 September 2024   15:10 Diperbarui: 29 September 2024   15:12 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara desis las memecah keheningan subuh. Di bawah langit yang masih gelap, sosok Ayah sudah berdiri tegap, topeng las menutupi wajahnya yang mulai dihiasi keriput. Percikan api menari-nari, memantulkan cahaya pada keringat yang mulai mengalir di dahinya.

Aku mengintip dari jendela kamar, menyaksikan ritual pagi yang sama setiap harinya. Ayah, dengan tubuh kurusnya yang mulai renta, masih setia memikul beban keluarga di pundaknya.

"Dik, tolong bawakan kopi untuk Ayah," suara Ibu terdengar dari dapur.

Aku bergegas ke dapur, mengambil secangkir kopi hitam pekat (kopi favorit ayah). Dengan hati-hati, aku melangkah ke halaman belakang tempat Ayah bekerja.

"Yah, kopinya," ujarku pelan.

Ayah mengangkat topeng lasnya, senyum hangat terukir di wajahnya yang lelah. "Terima kasih, Nak," ucapnya sambil menerima cangkir itu.

Aku memperhatikan tangannya yang kasar dan penuh luka bakar kecil, bukti nyata perjuangannya selama bertahun-tahun. Namun, tak pernah sekalipun aku mendengar keluhan dari bibirnya.

"Ayah tidak capek?" tanyaku hati-hati.

Ayah terkekeh pelan. "Capek? Tentu saja. Tapi kamu tahu tidak, Nak? Rasa capek ini hilang setiap kali Ayah ingat senyum kalian."

Hatiku terenyuh mendengar ucapannya. Aku teringat bagaimana Ayah selalu berusaha pulang tepat waktu untuk makan malam bersama, bagaimana ia rela begadang membantu adikku mengerjakan PR, dan bagaimana ia selalu menyisihkan uang untuk tabungan pendidikan kami.

"Nak," panggil Ayah, membuyarkan lamunanku. "Lihat bintang-bintang itu?"

Aku mendongak, melihat beberapa bintang yang masih bertahan di langit fajar.

"Mereka seperti kita," lanjutnya. "Meski dikelilingi kegelapan, mereka tetap bersinar. Begitu juga kita, Nak. Meski hidup sulit, kita harus tetap bersinar, tetap berjuang."

Air mataku nyaris jatuh mendengar filosofi sederhana namun dalam itu.

"Yah," ujarku pelan. "Ayah adalah bintang paling terang bagi kami."

Ayah tersenyum, menepuk pundakku lembut. "Dan kalian adalah alasan bintang ini terus bersinar."

Pagi itu, aku belajar bahwa kekuatan terbesar tidak selalu datang dari otot yang kekar, tapi dari hati yang penuh cinta dan tekad yang tak tergoyahkan. Ayah, dengan tangan kasarnya yang penuh luka, telah mengajarkanku arti perjuangan dan pengorbanan sejati.

Saat matahari mulai menyembul di ufuk timur, Ayah kembali mengenakan topeng lasnya. Suara desis mesin kembali terdengar, berpadu dengan kicauan burung yang menyambut pagi.

Aku kembali ke kamar, membuka buku catatan kecilku dan menulis:

"Hari ini, aku melihat pahlawan sejati. Ia tidak mengenakan jubah, tapi topeng las. Tangannya bukan memegang pedang, tapi alat las. Kekuatannya bukan untuk menghancurkan, tapi untuk membangun masa depan kami. Ayah, terima kasih telah mengajarkan bahwa cinta sejati tidak perlu kata-kata, cukup dengan keringat dan pengorbanan."

Dari jendela kamarku, aku melihat Ayah masih tekun bekerja. Percikan api dari alat lasnya bagai kembang api kecil di pagi hari, mengingatkanku bahwa dalam kesederhanaan dan kerja keras, ada keindahan yang tak ternilai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun