Aku mendongak, melihat beberapa bintang yang masih bertahan di langit fajar.
"Mereka seperti kita," lanjutnya. "Meski dikelilingi kegelapan, mereka tetap bersinar. Begitu juga kita, Nak. Meski hidup sulit, kita harus tetap bersinar, tetap berjuang."
Air mataku nyaris jatuh mendengar filosofi sederhana namun dalam itu.
"Yah," ujarku pelan. "Ayah adalah bintang paling terang bagi kami."
Ayah tersenyum, menepuk pundakku lembut. "Dan kalian adalah alasan bintang ini terus bersinar."
Pagi itu, aku belajar bahwa kekuatan terbesar tidak selalu datang dari otot yang kekar, tapi dari hati yang penuh cinta dan tekad yang tak tergoyahkan. Ayah, dengan tangan kasarnya yang penuh luka, telah mengajarkanku arti perjuangan dan pengorbanan sejati.
Saat matahari mulai menyembul di ufuk timur, Ayah kembali mengenakan topeng lasnya. Suara desis mesin kembali terdengar, berpadu dengan kicauan burung yang menyambut pagi.
Aku kembali ke kamar, membuka buku catatan kecilku dan menulis:
"Hari ini, aku melihat pahlawan sejati. Ia tidak mengenakan jubah, tapi topeng las. Tangannya bukan memegang pedang, tapi alat las. Kekuatannya bukan untuk menghancurkan, tapi untuk membangun masa depan kami. Ayah, terima kasih telah mengajarkan bahwa cinta sejati tidak perlu kata-kata, cukup dengan keringat dan pengorbanan."
Dari jendela kamarku, aku melihat Ayah masih tekun bekerja. Percikan api dari alat lasnya bagai kembang api kecil di pagi hari, mengingatkanku bahwa dalam kesederhanaan dan kerja keras, ada keindahan yang tak ternilai.