Kebanyakan warga memang tidak banyak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Media masa sudah dikuasai Negara dan orang-orang di baliknya. Media hanya memberitakan keburukan Roy saja. Keterlaluan memang.
Malam ini harus menjadi malam yang indah untuk Roy. "Kamu bebas makan dan minum apapun yang kamu mau, aku yang bayar!", seruku pada Roy. Ia terlihat sangat bahagia. Aku lebih bahagia tentunya. Kami melewati malam pergantian tahun baru bersama. Ditemani canda tawa.Â
Malam semakin pagi. Akhirnya kita memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Aku memeluknya sebelum kita berpisah. "Aku harus kuat seperti kamu yang sudah terlalu kuat menghadapi semua ketidakadilan ini", ucapku di dalam hati.
Akhirnya pagi datang juga. Waktunya aku untuk bekerja, meskipun sebenarnya ini tanggal merah. Aku mendapat tugas dari komandanku. Tugas ini tidak bisa ditolak ataupun ditunda. "Demi keamanan Negara kita tercinta", ujar Pak Komandan.Â
Aku buka jendela kamarku. Ku buka lebar-lebar hingga angin pagi berebutan masuk ke dalam kamarku. Rumah Roy dapat terlihat dengan jelas lewat  jendela kamarku. Lalu ku siapkan peralatan kerjaku, sebuah senjata laras panjang yang dilengkapi dengan peredam suara. Ku todongkan moncong senjata ke lubang jendela. Lewat lensa bidikan aku melihat Roy keluar dari pintu rumahnya. Kutarik pelatuk. Roy jatuh seketika, juga air mataku.
"Semua ini kulakukan supaya kamu cepat bertemu dengan Linda"
(Cerita ini ditulis di Hari Hak Asasi Manusia sedunia, 10 Desember 2021, untuk mengenang peristiwa Petrus 1983-1985)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H