Mohon tunggu...
Indra Guntoro
Indra Guntoro Mohon Tunggu... Lainnya - bocah kemaren sore

manusia pemakan pecel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Ujung Jalan Setapak

6 Desember 2021   11:25 Diperbarui: 6 Desember 2021   11:29 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam ini begitu dingin. Dedaunan pun ikut beku, tak goyang ditiup angin malam. Hijaunya memudar. Pepohonan menjadi pucat pasi. Tanah dan batu pun turut menggigil. Hutan semakin hening dan linglung. Juga malam semakin gelap.

Waktu menunjukan pukul tiga pagi. Sementara aku masih menyusuri jalan setapak ini. Entah apa yang sedang aku lakukan. Entahlah. Malam dan hutan adalah hal yang sedang aku butuhkan saat ini. Lebih dari sekedar hal-hal yang picisan. Meskipun aku sendiri tak tahu apa yang sedang aku lakukan disini.

Jalan setapak ini begitu gelap bagiku, bagi seorang gadis kecil yang seharusnya tidak berkeliaran ke dalam hutan di malam hari. Tapi apakah benar ada larangan bahwa seorang gadis kecil tidak boleh berkeliaran di hutan ketika malam hari? Kurasa itu cuma akal-akalan para orang tua supaya anaknya tetap selalu berada di rumah ketika malam tiba. Aku tidak pernah merasa bahwa hutan di malam hari adalah sebuah hal yang mengerikan. Aku tidak pernah merasa terancam oleh apapun disini. Dan aku cukup aman untuk berada disini. Hutan di malam hari sama sekali tidak berbahaya. Ingin sekali aku menyampaikan pesan ini kepada semua orang tua di seluruh penjuru bumi.

Langkahku terhenti pada sebuah tanah lapang yang dikelilingi oleh pepohonan. Tanah ini cukup luas bagi seorang anak kecil sepertiku. Dengan alas yang ditumbuhi oleh rumput yang cukup subur. Dan langit yang terbuka. Dari sini aku bisa melihat bintang yang sedang berkedip ke arah ku. Cahaya bulan pun dengan bebas bisa menerangi sekitaran tanah lapang ini, membuatku bisa melihat semua yang ada di sini. Aku bisa melihat pepohonan yang berdiri melingkar mengelilingiku. Pepohonan itu seolah melindungiku dari kegelapan hutan yang ada di balik mereka.

Aku merebahkan tubuhku di atas rerumputan yang sedikit lembab. Ku layangkan pandangku ke arah langit. Aku menyapa semua bintang yang berada tepat di atas ku. Banyak sekali hal yang ingin aku tanyakan kepada mereka. Dan aku tahu kalau mereka pasti memiliki semua jawabannya. Lalu aku mulai membuka percakapan dengan bintang-bintang. Aku memulainya dengan menanyakan kabar mereka satu per satu. Mereka menjawabnya dengan ekspresi yang beragam. Beberapa diantaranya menjawab pertanyaanku dengan antusias. Beberapa yang lain terkesan cuek dan enggan bicara kepadaku. Lalu aku terkesan pada satu bintang yang paling bersemangat menjawab pertanyaanku. Sepertinya dia begitu peduli kepadaku. Aku menyukainya. Meskipun sinarnya tidak terlalu terang jika dibandingkan dengan bintang yang lain namun aku tetap menyukainya. Lalu aku mengajaknya berbincang tanpa mempedulikan bintang-bintang yang lain.

Lalu kutanyakan padanya apakah dia menyayangiku. Dengan suara yang lirih bintang itu menjawab "Ya". Dari nada bicaranya aku merasa sepertinya dia terlihat ragu ketika menjawab pertanyaanku yang satu itu. Dan aku tahu kalau bintang itu pasti membohongiku. Oh malam yang gelap, apa salahku ini? Bahkan bintang pun enggan untuk menyayangiku. Seketika aku langsung mengangkat tubuhku dari rerumputan. Lalu aku berdiri dan berlari menuju ke dalam hutan yang gelap. Aku pergi tanpa pamit kepada bintang-bintang di langit. Aku kesal pada mereka. Walaupun aku tidak tahu apa yang sebenarnya sudah membuatku menjadi kesal kepada mereka. Tapi yang pasti bintang bukanlah pembimbing untukku. Aku tak mungkin menjadikannya sebagai penopang yang akan menuntun hidupku.

Aku kembali berada di dalam hutan yang gelap. Berada di antara pohon-pohon yang besar dan kokoh. Langkahku beberapa kali tersandung oleh akar-akar pohon yang sudah cukup tua. Aku terus barjalan tertatih-tatih di antara kegelapan. Dan dengan waktu yang tidak begitu lama, akhirnya aku menemukan kembali jalan setapak yang tadi kulalui. Jalan setapak ini seharusnya tidak aku tinggalkan. Seharusnya aku terus mengikuti alur jalan yang kecil ini hingga aku berada di tepi hutan. Mungkin sudah saatnya aku menyudahi pelarianku di hutan ini. Kakiku sudah  sangat lelah. Perutku sudah lapar. Dan mataku sudah tak kuat menahan rasa kantuk yang sangat hebat.

Aku berjalan mengikuti langkah kakiku yang sudah sedikit kaku karena kedinginan. Sendi-sendiku sulit untuk digerakkan. Aliran darahku pun seperti berhenti mengalir dan membuat setiap jengkal tubuhku terasa menjadi beku. Dingin.

Kabut tipis mulai menyelimuti sekitaran tempat ini. Pandanganku menjadi terganggu. Tapi, aku bisa melihat di ujung jalan setapak ini ada sebuah keluarga yang (sementara) sudah kembali normal sedang menungguku pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun