Apa kabar, kau yang dahulu berkata tak bisa hidup tanpaku? Masihkah bernafas? Bukankah, kau pun pernah berkata, bahwa akulah nafasmu.
Di kedai biasa kita berjumpa, aku tengah berbicara pada bayanganmu. Dan segelas kopi menemaniku malam ini. Mengulang kata-kata manis yang berhamburan dari masa lalu. Meski pun kini berakhir pahit.Â
"Kau tahu, Dea. Kenangan tentangmu lebih lengket dari permen karet." Â
Dahulu kita pasangan gombal. Kau yang lebih pandai merayu, meski lewat bahasa tubuh. Terkadang lidahku sampai kelu demi meluluhkan hatimu. Dan kau akan tertawa lepas, bila aku kehabisan kata-kata. "Yes, aku menang!" ucapmu.Â
Kudengar kau mengurung diri cukup lama saat kutinggalkan. Mendadak melankolis. Dan sering menangis. Tapi, bukankah kau sendiri yang menghendaki perpisahan?Â
Dua belas tahun lalu, kau meminta agar aku menjauh darimu. Melepas hubungan yang terjalin mesra ke dalam nestapa. Dan ajaib, permintaan itupun terkabul.Â
Bukan cuma orang sakti yang punya ilmu menghilang. Teman yang meminjam uang, lelaki hidung belang, dan kekasih yang tersakiti pun kadang memakai jurus yang sama. Termasuk aku saat itu, yang berusaha keras untuk seutuhnya lenyap dari kehidupanmu.Â
Hingga kedai hampir tutup, memaksaku beranjak. Mengemas kenangan. Melangkah pada kenyataan. Pulang. Dan memendam semua kisah kita dalam kesendirian.Â
Pagi yang dingin. Di tengah kemacetan Jakarta yang biasa kujalani. Penyiar radio memutar lagu "wajib" kita dahulu. Dan kau kembali hadir dalam benakku.Â
Kucoba membayangkan manisnya senyum, gelak tawa, dan umpatan yang seringkali kau ucapkan. Mengingat-ingat model rambut, wangi parfum, dan warna gaunmu saat kita pertama kali bertemu.Â