Dia harus pergi bekerja, bila tak ingin kehilangan pekerjaan lagi. Pak Mandor mengancam akan memecatnya, jika Kasiman datang terlambat hari ini.Â
Meski ancaman itu tak pernah terbukti. Kasiman berulangkali datang terlambat, bahkan mangkir. Dan anehnya, sikap Pak Mandor seolah memaklumi. Namun tak seorang pun berani protes.
Di siang bolong, sinar mentari menusuk ubun-ubun. Deretan truk pasir mengantre di luar pelabuhan bongkar muat. Kasiman melangkah terburu-buru di antara bedeng-bedeng penjual nasi di luar pagar.Â
"Kasiman, ke mana saja kau!? Lama tak kelihatan di lapak judi?" Teriak salah seorang sopir truk, yang sedang asyik mengaduk kopi.Â
Kasiman tak menggubris teriakan itu. Ia ingin cepat-cepat memasuki pelabuhan, dan menghadap Pak Mandor. Kepalanya menunduk, tangannya bergetar. Semua bunyi disekitarnya, terdengar berdengung.Â
"Maafkan saya, Pak. Bila besok saya terlambat lagi, bapak boleh pecat saya," ucap Kasiman dengan nada pasrah.
"Enak betul mau dipecat! Sekarang kamu pergi makan. Nanti bantu Karso, dan lanjut kerja sendiri sampai malam! Lekas!" Hardik Pak Mandor.Â
Kasiman melangkah ke arah kedai nasi di dalam pelabuhan. Para kuli bongkar muat menyebut kantin. Mereka bebas makan dan minum dengan cara mencatat. Dan di akhir bulan, gaji mereka sudah langsung dipotong.Â
"Kopi hitam tak pakai gula, Mbok!" Karso baru saja selesai makan. Ia memesan kopi, begitu melihat Kasiman datang.Â
Mbok Kantin, istri Pak Mandor, malah menyiapkan nasi dan lauk pauk. Terlihat porsinya lebih banyak, dari yang biasa ia diberikan kepada kuli lain.Â
Karso maklum, mungkin Mbok Kantin iba pada Kasiman. Kuli paling menderita di pelabuhan bongkar muat.Â