Namanya Paimin, biasa dipanggil Mas Pay. Kami mengenalnya sebagai pelanggan setia di kedai kopi Ci Ai Ling. Tepat pukul dua belas siang. Ia sudah pasti berada di meja nomor lima. Memesan kopi hitam dan mie instan. Kata pemilik kedai, dia sudah ada di sini sejak kedai pertama kali dibuka.Â
Dua tahun terasa singkat. Namun cukup waktu, untuk dapat mengenal pelanggan lain yang selalu datang ke kedai ini. Ada yang setiap hari singgah, seminggu sekali, atau tak tentu hari.Â
Dan hari ini, Mas Pay tidak terlihat. Sudah sebulan belum bertemu. Biasanya kami mengobrol ditemani kopi. Dari persoalan sepele, sampai masalah negara. Ia memiliki sudut pandang yang cukup unik.Â
Ia pernah berkata, "Memberi adalah bahasa universal. Jangan harap omongan kita didengar, bila belum pernah memberikan apa-apa."Â
Pernah suatu kali ada gadis kecil datang ke meja kami. Dia biasa datang ke meja pelanggan dan meminta-minta. Biasanya sambil berkata, "Bagi uangnya, Om."Â
Biasa kuberi gadis kecil itu, dua ribu atau lima ribu rupiah. Namun Mas Pay malah berkata, "Tak perlu lagi dikasih. Uang itu, dipakai untuk beli tuak bapaknya!"Â
Keesokan hari, gadis kecil itu sudah tak terlihat lagi di sekitar kedai. Ci Ai Ling bercerita, bahwa Mas Pay hari itu juga membawa gadis kecil tersebut masuk pesantren. Setelah bapak si gadis, diberi pekerjaan menjaga lapak barang bekas.Â
Teringat saat pertama kali kami saling menyapa. Cukup berkesan. Mas Pay selalu tertawa mengingatnya. Meskipun kejadian itu, sudah lebih dari setahun lalu.Â
Ketika itu, aku memesan kopi dan roti bakar. Karena menunggu lama, kupergi ke toilet sebentar. Begitu keluar, di mejaku sudah ada orang lain. Itulah Mas Pay.
Kebiasaan berbagi meja, kupikir tak apa. Kami ngobrol santai saja. Terlihat Mas Pay, wajahnya kikuk seperti kebingungan. Mungkin pesanannya belum datang-datang. Â