Tak enak betul, asyik mengobrol. Namun aku minum kopi sendirian. Roti bakar yang kupesan pun belum datang. Berbasa-basi, kuteriaki saja Ci Ai Ling. "Kopi kawan ini mana, Ci?!"
"Itu yang kau minum!" jawabnya.Â
Mendengar jawaban Ci Ai Ling, hampir saja aku tersedak ampas kopi. Ternyata kopi dan roti bakar yang kupesan, sudah nangkring di meja sebelah.Â
Sejak saat itu, Mas Pay mulai rajin menyapa. Mengingatkan agar tidak lagi salah meja. Kutahu ia cuma bercanda. Namun dari sana, obrolan kami mengalir begitu saja.Â
Pelanggan kedai datang dan pergi. Hingga tersisa aku dan seorang perempuan paruh baya di meja nomor lima. Menikmati segelas kopi. Raut wajahnya selalu murung. Sudah lima hari dia berkunjung ke kedai ini.Â
Sebelum beranjak, aku membayar untuk meja tersebut. Sekadar beramah-tamah. Karena di kedai ini, orang terbiasa "sok kenal" dan berinteraksi.Â
Meski kedai ini sudah dipasang Wi-Fi, tetap saja lebih asyik mengobrol dengan sesama pelanggan di meja sebelah.Â
Lima hari kemudian, aku baru dapat singgah di kedai kopi. Kesibukan kerja, membawaku ke berbagai kota untuk urusan bisnis perusahaan.Â
Bekerja dengan tekanan tinggi, membuatku memerlukan teman berbagi cerita. Melepas lelah dengan tertawa.Â
Mas Pay sudah tak pernah terlihat lagi. Perempuan tempo hari, masih berada di meja nomor lima. Ia menatap ke arahku cukup lama. Kemudian menyapa, dan mengucapkan terima kasih. Kami mulai bercengkerama.Â
Tak butuh waktu lama untuk merasa akrab. Ternyata, kami berdua mengenal orang yang sama. Dan alasannya datang ke kedai adalah untuk mengenang Mas Pay.Â