Bel berdentang tiga kali. Murid-murid mungil berseragam merah putih, berhamburan keluar kelas. Riuh tawa dan canda. Keceriaan menyelimuti sekolah. Disambut senyuman orangtua siswa di depan gerbang.
Kegembiraan bagi Kang Ujang, penjual cilok di depan pagar sekolah dasar. Pelanggan selalu berdatangan di waktu istirahat dan pulang. Dagangan satu panci, habis dalam sehari. Menjelang sore, mengayuh sepeda pulang ke rumah.Â
Dentang bel, begitu menyenangkan. Namun masa-masa berkesan telah lama berlalu. Dua tahun sejak pandemi melanda, Kang Ujang berhenti berjualan di depan sekolah. Tidak ada panci di belakang sepeda. Berkeliling pun, pembeli tak ada yang keluar rumah.Â
Kini hanya sang istri yang berjualan kupat tahu di pagi hari. Meski sesekali, Kang Ujang mendapat pesanan cilok mentah dari pedagang lain. Namun kebutuhan dapur semakin tinggi. Dan Kang Ujang harus mengambil pekerjaan tambahan.
"Pak, minta uang."
Sore itu, Kang Ujang bersiap berangkat kerja. Sepeda tua sudah dibersihkan. Â Tiba-tiba anak bungsunya menyongsong dari balik pintu dan meminta uang jajan.
"Buat apa?" tanya Kang Ujang.Â
"Beli cilok di Ceu Romlah," jawabnya polos.Â
"Ceu Romlah ciloknya dari bapak. Biar bapak buat sendiri, nanti." Kang Ujang mencium kening sang anak dan beranjak pergi.
Kini, hari-hari Kang Ujang bertugas menjaga gedung kosong. Memastikan keamanan dan kebersihan. Meski upah hanya cukup untuk makan sehari-hari. Nasibnya lebih baik dari para pedagang lain di depan sekolah. Dan iapun bersyukur atas itu semua.Â
Gedung kosong yang dijaga Kang Ujang, adalah bekas garmen yang gulung tikar akibat pandemi. Pasar kian sepi. Negara tujuan ekspor terkunci. Stok menumpuk di gudang. Terpaksa harus meliburkan semua karyawan. Dan akhirnya selesai.Â