"Oh Tuhan, jauhkanlah aku dari godaan Mira yang membuatku tak berkutik."Â
Lantunan do'a di malam ini. Di sudut kamar kost 4 x 4 meter persegi. Di kawasan paling romantis di selatan Jakarta. Dari balik jendela, kulihat Mira menjelang tergesa-gesa.Â
Ia berlari menembus derasnya hujan ke arahku. Membuat jantungku berdegup kencang di balik pintu, dan berharap apa yang kulihat sekedar halusinasi.Â
Namun kedatangan Mira bukanlah ilusi. Ia terpaku menatapku saat kubuka pintu. Ia menangis. Aku bisa membedakan air hujan dan air mata. Mengalir deras di pipi tembemnya. Lalu tumpah, membasahi tubuh yang sudah lebih dahulu basah kuyup.
"Jono, hatiku sakit!"
Pada setiap kata yang berhembus dari bibir manisnya, aku menangkap kegelisahan yang tak pernah berakhir. Selalu begitu, sejak pertama kali bertemu. Ia mencurahkan kisah percintaan yang tak ada habisnya. Padaku, hanya padaku.Â
Dua tahun sejak kami saling mengenal di kantin kampus. Teman datang dan pergi silih berganti. Namun Mira dan aku, selalu datang dan bertemu di meja paling pojok. Hanya sekedar berbagi cerita. Ia yang berbagi, aku yang menerima.Â
Entah, malam ini kisah apalagi yang akan diceritakan. Dikeluhkan dan dikesahkan. Genap dua tahun, sudah ada empat ikatan cinta yang dikandaskan. Kuyakin pasti menarik, karena biasanya tak pernah ada air mata.Â
Mantan pertama ditamparnya di depan umum. Ia tak tahan. Tangan nakal si lelaki, dibalas Mira dengan ringan tangan. Mantan kedua ditinggalkan di bioskop. Ia meledak. Bibir nakal si lelaki, dibalas caci maki. Dan Mantan ketiga, diputuskan lewat pesan singkat. Ia merasa diabaikan. Tak ada cinta lagi katanya.Â
Hingga suatu hari, Mira meminjam tanganku untuk menuntaskan mantan keempat. Kuremukan ruas-ruas jari lelaki itu. Berharap si lelaki menyesali perbuatan buruknya, karena menampar perempuan hanya dapat dilakukan oleh pecundang.
Ia bukan perempuan cengeng. Ia berbagi cerita padaku bukan sekedar mengeluh, tetapi ia percaya padaku. Setidaknya itu yang kurasakan.