KABUT tipis membelai mesra pucuk-pucuk daun di perkebunan teh Salabinta di bulan Juni. Mentari membuka pagi dengan kilau sinar yang becermin genit pada setiap tetesan embun.
Gadis berjilbab putih merentangkan kedua tangan, menyambut desir angin di pagi yang indah. Kemudian berlari kecil membelah perkebunan. Lentik jemari mungil itu, menyentuh pucuk-pucuk teh yang basah. Hingga Derai tawa merdu mengalun, dan memecah kesunyian.Â
Dia adalah Habibah Nur Aisyah, aku biasa menyapa dengan panggilan Ay. Dan hari itu, adalah kebersamaan kami yang tak pernah dapat kulupakan. Hari itu, semacam acara perpisahan kelas kami selepas kelulusan.Â
"Farid, kamu mau ikut ke Curug Cibeureum?" suara lembut itu menghujam tepat ke hatiku. Ia salah mengucapkan namaku, tetapi sorot mata beningnya tak lepas dari tatapanku.Â
"Namaku Fariz, Ay."Â
Segaris senyum menghiasi wajah cantik itu. Kedua tangan halus, menutupi wajahnya karena malu. Padahal aku memaklumi kesalahan kecilnya. Kami memang tidak terlalu dekat di sekolah.Â
Ia melangkahkan kaki dengan bersemangat. Hanya tujuh orang dari rombongan kelas yang berangkat ke atas. Sekedar mengambil kenangan di bawah air terjun yang tak jauh dari Selabintana.Â
"Fariz, jagain. Nita dan yang lain malah asyik sendiri." Ay hampir terpeleset di jalan setapak yang agak curam. Dan aku tepat berada di belakangnya.Â
Dalam hatiku berkata, tak perlu kau minta, Ay. Bahkan, aku ingin menjagamu seumur hidup. Namun, rasa senang dapat bersamamu, saat ini sudah luar biasa. Rasanya, sudah seperti sekeping do'a tentangmu yang dikabulkan Tuhan untukku.Â
"Fariz, besok-besok pasti kangen suasana sekolah, euy."Â
Ay duduk manis dan memandang air terjun di depannya. Ia menatap sendu teman-teman lain, yang tak sabar membasahi diri di bawah air terjun. Canda tawa mereka pun bersahut bersama gemericik air.Â