"Saya cuma mau ngopi, Mas!" kilahku, ketika Mas Marwoto mengusirku dari warung kopi miliknya.Â
"Ra percoyo! lekas minggat!" gelegar suara Mas Marwoto, membuat para pelanggan mengarahkan pandangan sinis kepadaku.Â
"Karena Mbak Nila cantik, rusak reputasiku satu kampung."
Bertahun-tahun, aku ngopi di sini. Baru hari ini diusir secara kasar, tak sopan dan tidak manusiawi. Benar-benar malu aku dibuatnya.
Mas Marwoto, sungguh keterlaluan. Padahal semua masalah dapat diselesaikan dengan baik-baik. Tak perlu marah-marah, apalagi sampai mengusirku dengan cara demikian.Â
Pagi ini aku sungguh kecewa. Perasaan dongkol dan malu, campur aduk jadi satu. Apa kata orang-orang kampung, apa kata dunia. Yang lebih penting, apa kata istriku.Â
Aku pergi ke kedai kopi lain di ujung kampung. Pace Dion mungkin akan mendengarkan curahan hatiku yang terzalimi. Kadangkala, celotehan berisi nasehat bijak darinya cukup ampuh.Â
Setelah memesan kopi tubruk, aku mulai berbasa-basi dengan Pace Dion. Kelakar pemilik kedai kopi ini, membuatku sangat terhibur.Â
Di balik kelakar yang biasa Pace Dion sampaikan, ada makna yang dalam tentang kehidupan. Ya, itulah kira-kira penilaianku.Â
Hingga, aku berniat membuka mulut untuk bercerita tentang kejadian di warung kopi Mas Marwoto, tiba-tiba muncul anak gadis Pace Dion.Â
Pandanganku yang tadinya lurus ke depan, kini berputar ke arahnya. Seakan terhipnotis, aku benar-benar lupa tengah bercengkrama dengan ayahnya.Â