Basa basi, lambat laun menjadi sebuah obrolan cair. Berbicara tentang hobi, tempat yang biasa dikunjungi dan celoteh seputar kisah mantan. Doni tertawa terbahak-bahak, berbagi pengalaman bersama teman seperjalanan.
Jack mengambil dompet dari saku celana, ia mengambil sebuah foto usang. Kemudian, memperlihatkannya pada Doni.
"anak-anak saya, empat bocah. Kangen saya sama mereka," ucap Jack.Â
Doni melihat foto itu cukup familiar. Namun, tak begitu jelas ia memperhatikan. Doni hanya tersenyum dan mengangguk saja. Belum jelas, tujuan Jack memperlihatkan foto tersebut.Â
"Semalam, saya di kirim gambar hoaks. Ada anak-anak yang dianiaya di negeri orang. Hati saya sakit, Mas. Teringat anak-anak saya, bagaimana kalau amit-amit kejadian," ucap Jack.
"Itu cuma hoaks. Manusia makan manusia sudah biasa di negeri ini, toh," ucap Doni.
"Menurut Mas, apa tindakan menyebar berita bohong itu biadab? korban perasaan okelah. Namun, jika sampai rusuh dan jatuh korban jiwa? ambyar kan," tanya Jack.
"Entah, kadang tujuan besar membutuhkan pengorbanan besar, mungkin," jawab Doni.
Capuccino sudah tak tersisa, Doni mematikan cerutu dan pamit pada Jack. Panggilan memasuki pesawat sudah berkumandang berkali-kali. Dan pesawat yang akan mengantar Doni, baru saja diserukan.Â
Mereka berpisah di ruang tunggu, Doni mampir ke beberapa kios di depan ruang tunggu dan membeli cemilan. Ia membeli beberapa batang cokelat, membayar dengan kartu kredit atas nama orang lain.Â
Doni bersiap memasuki pesawat. Ia tiba-tiba berpikir, untuk membatalkan pekerjaan membuat konten rasial tentang Papua. Kata-kata Jack, mungkin telah menyentuh sisi kemanusiaan pada dirinya.Â