Hei, Duloh. cerite' yang betul! macam mana hantu bise ambik kau punya uang?"
"Sungguh, Wak Zul. Mana berani aku berbohong. Tanya saje' orang-orang kampung. Ramai, tuyul sekarang ni."
"Tuyul swasta atau tuyul negeri? alasan je kau, Duloh!" gerutu Wak Zul, seraya berlalu.
Duloh berprofesi sebagai calo tanah. Kini, masa jayanya sudah lewat. Ribuan hektar lahan sudah beralih menjadi perkebunan sawit. Duloh bingung, tak ada lagi tanah luas untuk ditawarkan pada investor.
Dahulu, Duloh adalah orang kaya dan termasyhur di kampung Pinang Emas. Kini, akibat judi dan perempuan, semuanya lenyap tak berbekas.
Tinggal sebuah rumah kayu dan lahan lima ratus meter persegi miliknya. Istri cantik Siti Zubaidah, Alhamdulillah masih betah dan setia. Anak-anaknya, sudah merantau semua. Duloh hanya bertemu saat lebaran tiba.
Hari ini, Duloh lega. Wak Zul sudah tak nampak berhari-hari. Uang dua ratus ribu rupiah pinjaman dari Mak Ijah masih utuh di tangannya. "Rejeki tak kemana."
Hap, uang sudah berpindah tangan. Siti Zubaidah, penunggu dapur secepat kilat merebut nafkah lahir dari suaminya.
"Tak perlu direbut adinda sayang, uang itu memang untukmu," ucapnya.
Siti Zubaidah bergegas ke warung, seraya berkata, "ah, Abang bisa je. Kalau tak lekas kuambil, bise lari uang ni ke kedai nasi lemak si Laila."
Duloh menggaruk kepala, memang sakti Siti Zubaidah. Bisa tahu isi hati suaminya.Â