Ada banyak kata ‘pembangunan’ yang memiliki makna yang sama dengan kata ‘pembangunan’, misalnya perubahan sosial,pertumbuhan, industrialisasi,transformasi, dan modernisasi. Dari kata tersebut istilah ‘pembangunan’ lebih sering digunakan untuk menggambarkan dan memberi makna perubahan yang positif dan lebih maju dibandigkan keadaan sebelumnya (Edi Suharto,2010), mungkin hal inilah yang sedang terjadi di kota Subang 2013 ini, industri- industri padat karya menjamur di beberapa daerah di kota Subang baik itu industri besar dan menengah. Tercatat dalam tahun 2006 hanya terdapat 27 perusahaan besar dan sedang yang sudah mulai beroperasisecara komersial di kabupaten Subang. Namun dalam kurun waktu 1 tahun 2007 terjadi lonjakan jumlah industri yang cukup pesat yaitu mencapai 51 unit.
Harapan semua masyarakat kota Subang rasanya semua sama, yaitu menginginkan Subang yang lebih baik lagi, pembangunan ekonomi yang merata di setiap daerah. Hasil dari pembangunan dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu indeks pengukuran perbandingan dari harapan hidup,melek huruf, pendidikan dan standar hidup,IPM kota Subang mengalami peningkatan dari tahun ketahun, pada tahun 2010 IPM kota Subang 71,14 dan pada tahun 2011 IPM kota Subang 71,51 (sumber : Badan Pusat Statistik), walaupun IPM kota mengalami peningkatan, dari segi besarnya peningkatan kota nanas ini dikatakan tertinggal dari kota-kota tetangganya. Dari tahun 2010 ke tahun 2011 IPM kota Subang hanya naik 0,37 ,sedangkanPurwakartadari 71,17 naik 0,44 menjadi 71,61 dan Karawang mengalami peningkatan yaitu dari 69,79 naik 0,45 menjadi 70,24 (sumber: Badan Pusat Statistik).
Melihat dari fakta-fakta diatas, timbulah sebuah pertanyaan besar mengapa pembangunan di kota subang dalam hal ini outputnya dilihat dari IPM mengalami perubahan yang tidak signifikan dari kota Purwakarta dan kota Karawang yang notabenenya satu daerah pemekaran yang sama,padahal kota Subang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang mumpuni, kota ini mempunyai berbagai macam jenis lanskap, daerah pantai, daerah pertanian, dan daerah pegunungan jarang ada kota-kota yang memiliki karakteristik SDA seperti ini.
Mungkin sekiranya hal ini yang dapat menjawab pertanyaan diatas. Ketika kita tertinggal dari yang lain maka akan muncul pertanyaan kenapa bisa?, dan pasti melakukan evaluasi tentang apa-apa yang dilakukan mereka dan tidak dilakukan oleh kita. Hal yang sangat jelas terlihat adalah masalah prasarana jalan, kenyataanya bahwa jalan adalah urat nadi ekonomi. Selain mengemban fungsi ekonomi jalan raya juga dapat menjadi etalase kota, pasalnya orang dari luar kota subang akan menilai dari kondisi jalan yang mereka lalui.
Secara ekonomi pemerintah harusnya berpikir jangka panjang bukanya hanya “jangka sorong” , jalan raya yang bergelombang dan penuh lubang ini menimbulkan biaya tinggi. Ongkos transportasi menjadi membengkak. Paling tidak karena waktu tempuh menjadi terbuang. Belum lagi biaya perawatan kendaraan juga otomatis berlipat. Karena itu, pascabanjir sekarang ini, penanganan infrastruktur jalan harus menjadi prioritas tinggi. Karena berperan strategis sebagai urat nadi aktivitas sosial-ekonomi, maka rehabilitasi jalan raya tak boleh diperlakukan bukan sebagai prioritas. Bagaimanapun, menunda-nunda kegiatan tersebut dampaknya bisa sangat mahal. Sebab, kerugian yang ditanggung masyarakat pasti jauh lebih besar ketimbang biaya yang dibutuhkan untuk merehabilitasi jalan. Untuk itu, pemerintah daerah dituntut memiliki keinginan politik kuat sehingga soal biaya atau pendanaan tidak menjadi batu sandungan.
Pengalaman selama ini menunjukkan, rehabilitasi jalan raya terkesan dilakukan asal-asalan atau setengah hati. Bahkan jalan yang dekat dengan kota, hasil perbaikan jalan terasa amat minimalis. Paling tidak, aspek kenyamanan jalan tak serta-merta tergelar karena permukaan jalan bergelombang atau berlubang.
Dalam kasus lebih umum, kondisi jalan pascarehabilitasi hanya membaik dalam tempo sekejap. Sekadar terkena guyuran hujan satu-dua kali saja, permukaan aspal sudah mengelupas lagi. Lubang-lubang juga kembali menganga, sehingga jalan menjadi bopeng-bopeng. Langkah perbaikan atau rehabilitasi yang dilakukan pemerintah cenderung bersifat tambal - sulam. Perbaikan serius sekadar ditunjukkan menjelang Lebaran. Itu pun tak selalu dikawal dengan pemeliharaan yang ketat, sehingga dalam tempo relatif singkat pula kondisi jalan lagi-lagi sarat kerusakan. Terlebih jalan pantura (Pamanukan) begitu berat menanggung beban: bukan hanya arus lalu lintas amat padat, melainkan juga tonase kendaraan (truk) juga rata-rata kelas berat.
Kecenderungan buruk seperti itu tak sepatutnya dipertahankan karena cenderung menghamburkan anggaran. Untuk itu, rehabilitasi jalan raya pascabanjir kali ini seyogianya menjadi momen menuju praktik perbaikan dan pemeliharaan prasarana umum yang lebih bertanggung jawab dan menjamin manfaat optimal bagi masyarakat luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H