Pernah merasa kehilangan barang? Atau bahkan sering? Dicuri atau kelupaan? Iya, terkadang kejadian semacam itu tidak jarang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, termasuk penulis sendiri. Perasaan merespons biasanya dengan penyesalan, sedih, dan bisa jadi marah. Marah terhadap si pencuri atau si pengambil. Singkatnya, serangkaian kejadian tersebut dinamai dengan musibah.
Kali ini penulis tidak akan membahas musibah dari segi terminologi berdasarkan literatur agama atau pun aneka teori sosial yang rumit. Penulis menyederhanakan bahwa musibah merupakan hal buruk yang menimpa. Titik. Tak lebih, tak kurang. Nah, selanjutnya bagaimana menyikapi musibah tersebut.
Penulis pernah kehilangan suatu barang di rumah. Barang itu ditaruh di luar rumah tanpa perasaan takut akan hilang karena anggapan di desa lebih aman. Beberapa jam ditaruh di luar, barang tersebut hilang. Awalnya cukup menyesal karena nilai barang tersebut berkisar antara dua sampai tiga juta rupiah, barang elektronik. Tapi di saat yang sama, penulis menduga tahu siapa yang mencurinya. Dengan beberapa asumsi, yakni terdapat beberapa orang yang sering lewat di depan rumah. Kemudian dipersempit lagi siapa yang berkemungkinan besar tertarik dengan barang elektronik seperti itu.
Sebenarnya kejadian kehilangan bagi keluarga penulis pernah dialami. Dulu rumah kami pernah dibobol pencuri dan kehilangan sejumlah uang. Dengan asumsi yang sama digunakan oleh penulis, orang tua penulis melakukan observasi dini siapa kira-kira yang melakukan pencurian itu. Akhirnya ditemukan satu orang yang diduga kuat mencurinya. Uniknya orang tersebut memang benar-benar pencurinya setelah diinterogasi dan ia membuat pengakuan.
Mungkin yang membuat penulis berbeda dengan orang tua penulis kala itu adalah penulis tidak akan melakukan investigasi mandiri. Kalaupun penulis tahu siapa yang mengambil barang tersebut. Kenapa? Karena penulis percaya terdapat social cost (biaya sosial). Apa itu biaya sosial?
Penulis ilustrasikan cerita sederhana untuk memahaminya. Alkisah terdapat dua orang yang saling bertetangga, satu kaya satu miskin. Sayangnya si kaya itu kikir, dia tidak pernah mau menolong tetangganya yang miskin. Akibatnya, tetangga yang miskin mencuri harta kekayaannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sekarang bayangkan jika si kaya itu merupakan orang yang baik dan dermawan. Dengan sifatnya yang demikian, dia tentu akan membantu tetangganya yang miskin.
Dari kisah di atas, tokoh kaya baik dalam karakternya sebagai orang yang kikir atau pun dermawan tetap akan mengeluarkan hartanya baik karena memberi atau dicuri. Itulah yang disebutsocial cost (biaya sosial). Biaya sosial ini sifatnya harus dikeluarkan karena fungsinya sebagai beban (expense).
Kembali ke kisah kehilangan penulis. Sewaktu penulis menduga tahu siapa pelakunya, penulis tidak berhasrat untuk menanyainya. Hal tersebut mungkin sebagai akibat karena penulis kurang sering memberi hadiah padanya, bershadaqah, atau pun berbagi kebahagiaan dengan kelebihan harta yang penulis miliki. Orang yang penulis duga mencuri tadi memang secara ekonomi bukanlah orang yang mampu, artinya dia merupakan anak dari keluarga yang bisa dibilang miskin.
Selanjutnya di dunia ini penulis percaya terdapat equilibrium kehidupan. Equilibrium merupakan titik seimbang yang mempertemukan minimal dua faktor sehingga tidak terjadi ketimpangan (scarcity) atau pun kelebihan (excess). Sebagai contoh kisah dua orang yang bertetangga tadi. Saling memberimerupakan cara agar masing-masing dapat menjalani hidup dengan adil atau sama, minimal sama-sama makan atau merasakan kebahagiaan. Nah, di titik “sama-sama” itu equilibrium kehidupan berada atau berlangsung.
Kesimpulannya, musibah yang kita terima sebenarnya bukan hanya semata-mata kejadian buruk yang berarti terdapat hak-hak kita yang direnggut. Justru sebaliknya, bisa jadi musibah itu menimpa karena kewajiban kita (yang merupakan konsekuensi praktis dari pemenuhan hak orang lain) belum dilaksanakan. Jadi ketika kita kehilangan uang tidak serta merta dapat dikatakan “kehilangan,” namun bisa jadi uang yang hilang tersebut merupakan “pengeluaran sosial” yang belum kita keluarkan secara sukarela. Sehingganya mekanisme keseimbangan (equilibrium) membuatnya menjadi “dicopet,” “dirampok,” “kelupaan,” dan seterusnya.
Pelajaran yang dapat kita ambil adalah terkait keeleganan dalam bersikap terhadap pengeluaran itu. Apakah “cara mengeluarkannya” akan menjadi baik atau buruk. Cara itu kita yang menentukannya. Masing-masing cara pun memiliki kelebihan atau karakteristiknya. Jika kita “mengeluarkan” dengancara yang buruk, yakni dengan dicopet, dicuri, dan sebagainya, tentu akan disertai dengan rasa kesedihan, penyesalan, dan kerugian. Namun berbeda ketika cara mengeluarkan biaya sosial itu dengan baik, misalkan dengan shadaqah, saling memberi, dan seterusnya, maka secara bersamaan kita akan mendapatkan dividen berupa kebahagiaan saling berbagi, nilai pertemanan, persahabatan, dan masih banyak lainnya. Pilihannya tergantung kita, tapi yang jelas “biaya itu” harus dikeluarkan, jadi tak perlu merasa kehilangan atau menganggapnya sebagai musibah.
Sumber: http://bit.ly/1CRYaak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H