Internet research tadi merupakan salah satu proses validasi yang murah, tentu saja ketimbang door-to-door langsung turun ke lokasi. Saya menyebutnya murah, bukan mudah. Ingat! Apa bedanya? Atau, apa artinya? Ini berarti bahwa internet research/web-based research ini tidaklah gampang, meskipun secara biaya bisa dibilang murah. Kenapa tidak mudah? Karena, pertama di dunia virtual ini banyak sekali berserakan informasi-informasi yang bertingkat-tingkat: mulai dari benar sekali hingga bohong sekali alias palsu. Oleh karenanya, online research ini tidak semudah penelitian berbasis studi kepustakaan di sebuah perpustakaan universitas.
Bagaimana tidak murah? Lebih murah mana mengunduh video tentang pembuatan beras plastik di Cina, atau merekamnya langsung di Cina? Anda tentu dapat menjawabnya dengan mudah.
Mempermainkan Kepercayaan Publik
Demikian yang saya rasakan ketika hari ini Kapolri mengumumkan bahwa beras plastik tidak ada. Berdasarkan laporan BPOM dan lembaga-lembaga terkait, bahwa beras plastik itu ternyata tidak ada.
Pernyataan resmi dari pemerintah ini (yang tentu sudah melalui uji ilmiah dan laboratorium) mempertanyakan bagaimana kok bisa program berita sore yang waktu itu saya tonton bisa dengan gagah menyajikan berita beras plastik itu secara gagah nan berani. Saya menduga (dugaan saya ini condong pada kesimpulan) bahwa para jurnalis itu telah melakukan praktik online research yang tingkat validitasnya perlu dipertanyakan (sekali). Sudah saya jelaskan kalau online research itu tidak mudah, murah iya. Ketidak-mudah-an online research itu karena informasi yang ada di dunia maya itu berbiliun-biliun (bahkan lebih dari itu, dan terus mendivergensi). Lagi-lagi, saya menduga (dengan dugaan yang mendekati pada kesimpulan) bahwa insan media di balik pemberitaan beras plastik sore itu kurang tepat (diksi saya: keliru, gegabah) dalam memilih-milahkan informasi-informasi yang ada di internet itu. Lalu dengan mudah (baca: ceroboh) menaruh informasi-informasi di dunia maya itu sebagai narasi video proses pembuatan beras plastik (yang diperoleh dengan metode comotting research). Tentu saja comotting research, kan kalau ke Cina mahal!
Tepi berita sore yang saya tonton itu ternyata juga ditonton oleh ibu-ibu yang sedang ngerumpi di warung sebelah. Ditonton juga oleh sebuah keluarga yang sedang bersantai di Banyuwangi. Ditonton pula oleh tukang ojek yang sedang mangkal di Bandung. Gosip beras plastik di kalangan ibu-ibu arisan menjadi viral. Semua panik dan gaduh. Bahkan ada masyarakat yang enggan membeli beras di toko, melainkan menyelipkan sendiri gabah-gabah mereka. Ada pula celoteh mahasiswa kos-kosan yang bersyukur dia memakan mie instant ketimbang beras yang diduga bercampur dengan plastik.
Ini mungkin strategi yang sangat andal dibandingkan kampanye Gita Wirjawan menanam singkong untuk mengurangi konsumsi beras di republik ini, selain karena konsumsi beras berlebihan dapat menyumbang tingkat diabetes yang tinggi. Tidak perlu ribet-ribet berkampanye dengan menanam singkong di mana-mana, Pak Gita. Dulu seharusnya Anda cukup gulirkan isu kalau beras banyak yang teroplos dengan plastik, pasti masyarakat kita (Indonesia) akan secara alamiah menurunkan konsumsi beras, dan bisa jadi akan beralih ke konsumsi yang lain. Tapi di sini bukan imbauan Pak (mantan) Menteri Perdagangan yang sedang dikampanyekan, melainkan kepercayaan publik yang sedang dipermainkan dengan kecerobohan media. Publik dibuat gempar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H