Mohon tunggu...
Indra Darmawan
Indra Darmawan Mohon Tunggu... Administrasi - Reguler Citizen

Ciptaan Tuhan | Greedy for Knowledge | Peaceful Life Seeker | Author of My Life's Story

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Progo, 20 Januari 2014

22 Januari 2014   12:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:35 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perjalanan pulang ini, penulis banyak mendapat kesan. Kesan yang sulit dilupakan. Kesan yang dapat menjadi pembelajaran.

Progo, nama sebuah kereta api yang berangkat dari Stasiun Senen menuju Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Tempat duduknya berjejer tiga-dua. Ciri khas kelas ekonomi. Jangan perbandingkan dengan kelas bisnis dan eksekutif, jelas berbeda.

Tiket kereta pun termasuk yang murah. Wajar saja jika yang membeli adalah sebagian besar masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Meskipun subsidi untuk tarif ekonomi sudah dicabut.

Berbicara masyarakat menengah bawah itu unik sekali. Di sana ada kelucuan-kelucuan sosial yang terjadi. Mulai dari sikap semaunya sendiri duduk, tak berdasarkan nomor. Meskipun sudah benar satu jajar, tapi tak sesuai abjad. Ada yang diminta pindah tak mau.

Cara berpakian mereka juga cukup membedakan. Ada yang berpakaian sangat rapi sekali, mengenakan batik dan sepatu pantofel. Lengkap dengan peci, seperti mau datang ke pesta. Ada pula yang ala kadarnya.

Barang bawaan mereka pun banyak dan terbungkus dalam macam kardus dan bungkusan unik lain. Dapat membayangkan? Sedikit koper-koper besar atau kecil yang berderetan di tempat barang. Akan tetapi tempat barang memang kecil, artinya apabila koper ukuran besar bisa jadi tak muat. Ukuran tempat barang berbeda dengan kereta kelas bisnis atau eksekutif. Apa memang sengaja didesain demikian untuk kelas ekonomi?

Tingkah laku mereka juga unik. Karena tempat duduk yang sengaja tak dirancang memberikan kualitas kenyamanan tapi kuantitas penumpang, kita akan menemui pose-pose unik mereka mencari posisi PW (Posisi Wuenak).

Baiklah, pada tataran kekhususan karakter mereka bukan suatu soal. Tempat duduk penulis yang terebut tidaklah perlu disesal. Toleransi dan mengalah adalah pengajaran baik untuk mereka. Daripada berdebat hanya untuk duduk beda jajar. Kalaupun itu dilakukan, sepanjang perjalanan hanya menjadi ajang marah antar-penumpang.

Yang kurang membuat berkenan adalah sikap pelayanan petugas KA kepada kami-kami, penumpang kereta kelas ekonomi. Masinis memeriksa tiket tanpa senyum lebar dan ucapan terima kasih. Tidak seperti pada kereta kelas bisnis dan eksekutif yang masinisnya ramah dan mengucapkan terima kasih. Yang tertidur pun dibangunkan dengan menepuk pundak agak lumayan supaya bangun. Penjaja makanan pun tak seramah di kereta bisnis atau eksekutif yang menawarkan dengan keanggunan dan senyum.

Tidak benar sikap petugas Kereta Api itu. Apa pun alasannya. Sebab penumpang yang naik adalah masyarakat ekonomi menengah bawah? Apakah karena kelas ekonomi menjadikan pelayanannya ikut-ikutan ekonomis. Hemat senyum dan irit terima kasih. Selayaknya konsumen itu disepadankan. Semua pelanggan kereta api, baik miskin atau kaya. Apakah si miskin harus membayar untuk sebuah senyuman? PT KAI harus belajar bagaimana harus menjadi humanis. Sektor swasta yang BUMN saja begini, bagaimana pelayanan pemerintah terhadap rakyat. Apakah juga terdapat disparitas kenyamanan pelayanan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun