Sepakbola identik sebagai olahraga maskulin - olahraga yang identik dengan kaum laki-laki - melihat pesepakbola perempuan, wasit perempuan, petinggi klub perempuan, hingga suporter perempuan jadi sesuatu yang 'aneh'. Bias gender pun akan selalu muncul ke permukaan saat kaum Hawa ini menonjol di tengah gemerlap panggung sepakbola. Pembahasan yang dimunculkan rata-rata hanya menampilkan sisi kecantikan hingga keseksian.
Bahkan jika kita mencari kata suporter sepakbola di sosial media atau mesin pencari Google, mayoritas foto yang disajikan ialah gambar perempuan tengah menggunakan jersey sepakbola yang tampak seperti menyusut karena habis dicuci.
Selain itu, bagi kebanyakan orang jika melihat perempuan menyukai sepakbola terbangun pemikiran bahwa mereka paling tidak paham betul permainannya tapi suka bola karena tampang rupawan para pesepakbola. Ini stereotip yang terbangun di banyak tempat, termasuk di Indonesia. Â Stereotip ini makin diperkuat juga oleh banyak pembahasan di media.
Getty Images misalnya seperti dikutip bbc.co.uk pada perhelatan Piala Dunia 2018 lalu sempat menerbitkan galeri foto dengan judul 'Fans terpanas di Piala Dunia', tentu saja isi fotonya berisi para suporter perempuan dari sudut pandang keseksian. Belakangan galeri foto ini kemudian dihapus karena menimbulkan protes dari sejumlah suporter perempuan.
"Sangat mengecewakan media yang seharusnya bisa meruntuhkan stereotip itu malah terus mengembangkan cerita lama yang membosankan," kata salah satu suporter perempuan Leicester City.
Akibat rasa muak tentang framming media dan anggapan masyarakat terhadap hal ini, sejumlah suporter perempuan di Inggris mencoba untuk membuat saluran informasi tersendiri. Mereka membuat website khusus yang bertujuan untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai suporter perempuan dan jadi saluran informasi meruntuhkan stereotip terhadap suporter perempuan.
Website tersebut bernama thisfangirl.com yang digagas oleh dua suporter perempuan bernama Amy dan Laura, dua suporter Leicester City. "Sepanjang 2016 hingga 2017, kami berdua berkeliling Inggris dan bertemu banyak suporter perempuan lalu mendokumentasikan itu semua. Kami ingin mengangkat bahwa suporter perempuan juga bagian tak terpisahkan dari suporter laki-laki," kata Amy.
Sementara itu, di belahan bumi lain suporter perempuan malah sampai harus berjuang hidup dan mati demi bisa menoton laga sepakbola di stadion. Di Iran misalnya sejak 1980 pemerintah melarang keras perempuan bersentuhan langsung dengan sepakbola. Bagi suporter perempuan di Iran memberanikan diri untuk datang ke stadion dan menonton pertandingan sepakbola yang dimainkan pemain laki-laki sama saja merelakan diri mereka masuk ke dalam bui.
Tekanan terhadap Iran agar tak menerapkan aturan yang dinilai sebagian kalangan sangat diskriminatif tersebut berlangsung sampai detik ini. Pada Piala Dunia 2018 lalu, pemerintah Iran sempat membuat kaget publik dunia saat mengizinkan siaran nonton bareng Iran vs Spanyol di Stadion Azadi, Teheran. Siaran nonton bareng ini juga memperbolehkan para suporter perempuan menghadirinya, sayang sehari sebelum pertandingan pemerintah Iran mengumumkan ke publik acara tersebut dibatalkan.
"Pertandingan Iran vs Spanyol tidak akan disiarkan di Stadion Azadi karena kesalahan teknis. Kami menghimbau warga tercinta untuk tidak datang ke stadion," bunyi pengumuman pemerintah Iran yang disiarkan dari kantor berita Tasnim.
Pada era kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad, pemerintah Iran sempat untuk mengkaji aturan yang berlaku pasca kemenangan Revolusi Islam, namun kemudian niat Ahmadinejad tersebut mendapat banyak kritik dan kajian untuk mencabut larangan tersebut pun urung terlaksana.