Beberapa waktu lalu ibu saya selalu mempermasalahkan soal kegemaran cucu laki-lakinya bermain masak-masakan. Tak hanya ibu, mertua dan sejumlah saudara lain juga mengkritisi cara saya dan istri yang membebaskan putra pertama kami untuk bermain permainan yang katanya jenis permainan anak perempuan.
Memang ada yang salah dengan anak laki-laki bermain masak-masakan? Saya menganggap kegemaran bermain masak-masakan tidaklah salah. Saya dan istri tak pernah sekalipun mengajarkan ia untuk bermain masak-masakan. Beberapa waktu lalu, ia merengek minta dibeli mainan masak-masakan. Awalnya, istri sempat kaget dan mulai berpikir yang tidak-tidak soal itu.
Ternyata dari penulusuran kami berdua, keinginan Pria begitu sapaan anak pertama kami bermain masak-masakan karena sering melihat istri memasak. Entah kagum atau sekedar ingin mengikuti, Pria jadi sangat ingin bermain masak-masakan.
Pada akhirnya saya dan istri sangat nyaman dan terkagum-kagum melihat putra pertama kami dengan leluasa bermain masak-masakan. Dengan kepolosannya Pria memainkan kompor-komporan, piring-piringan, dan sejumlah permainan masak lainnya ia keluarkan dari tempatnya.
Imajinasinya pun mulai bekerja disitu, Pria mulai mengingat cara istri memasak, mulai dari memotong dengan pisau mainan, lalu menaruh wajan di kompor mainan, dan mengangkatnya setelah matang lalu ia sajikan ke adiknya. Hal itu tidak hanya ia tunjukkan saat bermain bersama kami, di tiap ada kesempatan bertemu dengan keluarga besar, Pria pun tak malu untuk bermain masak-masakan meski nenek atau omanya selalu melarang.
Satu pelajaran penting lainnya yang mungkin tak disadari oleh keluarga saat Pria bermain masak-masakan ialah bahwa secara tidak langsung saya dan istri sedang mengajarkan pada dirinya untuk menghormati perempuan. Bahwa tugas memasak dari seorang ibu bukan persoalan domestik perempuan. Saya mengajarkan Pria untuk menghormati perempuan bukan untuk mengkasihaninya, buat ia setara dan jangan buat ia diinjak-injak.
Kalau tak salah ingat, kegemaran Pria bermain masak-masakan sudah ada sejak ia berumur 3 tahun dan sekarang di usianya ke 4 tahun, Pria beberapa kali mengatakan kepada kami bahwa kelak jika besar ia ingin menjadi seorang chef.
Cukup terkejut saya dan istri saat Pria mengatakan cita-citanya tersebut. Ketika ditanya oleh istri, memang kamu tahu chef itu apa? dengan polosnya ia menjawab yang masak-masak itu loh, bunda!! Pria mengaku bahwa ia sering melihat di tontonan layar kaca atau Youtube soal serunya menjadi seorang chef. Bangga sekali kami berdua mengetahui Pria memiliki cita-cita dari hal yang ia sukai.
Namun kemudian kami dibuat pusing lagi, pasalnya di sejumlah literasi disebutkan bahwa saat anak berusia 4 tahun harusnya orang tua sudah mulai diminta untuk bermain sesuai dengan gender. "Di atas usia 4 tahun anak sudah harus bermain sesuai gender," kata salah seorang dokter seperti dikutip dari okezone.com.
Pertanyaannya kemudian apakah kami harus melarang Pria untuk bermain masak-masakan? Yang artinya sama juga meminta Pria tak meneruskan cita-cita yang ia sudah tanam dari usia muda ini. Saya pernah merasakan betul bagaimana tak enaknya harus merelakan cita-cita untuk tidak diwujudkan.
Untungnya teman yang seorang psikolog mengatakan bahwa pengategorian mainan berdasarkan gender bisa menjebak anak dalam stereotip peran jenis kelamin kuno. Anak laki-laki itu urusan yang "keras", anak perempuan yang "lembut".