Saat berkunjung ke desa Tumbang Malahui, Gunung Mas, Kalteng saya menemui banyak hal menarik yang sepertinya tak cukup jika diceritakan di satu artikel saya sebelumnya yang berjudul Menikmati Keramahan Masyarakat Dayak dan Cerita Tugu Soekarno di Palangka Raya.
Salah satu kisah menarik yang ingin saya angkat ialah saat pertemuan saya dengan para penjaga budaya yang juga berprofesi sebagai penjual atau pengrajin budaya suku Dayak.
Sebelum masuk ke pembahasan dengan para pengrajian budaya suku Dayak ini, saya menyempatkan diri untuk melihat pertunjukan tarian tradisional berjudul tari Hatangku Hatangkalu yang dibawakan dengan manis oleh para wanita cantik.
Meski tak paham betul nilai filosofis dari tarian tersebut, lantunan nada yang keluar dari alat musik Saron dan Suling Balawung serta paras cantik para penarinya membuat saya larut.
Untungnya saya tak terlalu larut, bukan karena saya termakan dengan banyaknya mitos atau lebih tepatnya rumor negatif soal wanita Dayak, namun karena memang fokus saya bukan kepada mereka tapi ke hal lain yang lebih indah yakni cara orang-orang Dayak melestarikan budayanya. Tadi cuma intermezzo saja.
Kebudayaan memang bukan sekadar menjadi barang dagangan, ini peninggalan leluhur yang harus di lestarikan. Kalau bukan kami sebagai warga Dayak, siapa lagi yang melakukan hal ini. Generasi muda sekarang belum semuanya peduli dengan hal seperti ini.
Pernyataan ini diungkap oleh Eddy Di.M. Engkan, salah satu pengrajin budaya warga Dayak. Eddy bertempat tinggal di Jakatan Raya, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, Palangka Raya. Namun, hasil kreasi tangannya di jual ke Ukus,  yang  bertempat tinggal di Tambung Malahui, Kabupaten Gunung Mas, Palangka Raya.
"Sudah lebih dari 2 tahun saya membuat kerajinan budaya warga Dayak. Kemampuan saya membuat barang ini bukan keahlian yang di dapat dari belajar di sekolah, tapi memang sudah di atur yang Maha Kuasa," kata Eddy di Tambung Malahui, Palangka Raya.
Eddy mencontohkan sebuah lukisan yang dibuat di dasari cerita mengenai leluhur warga Dayak. Lukisan yang berjudul 'Kayu Erang Tingang Mamua Bulau Tampung Penyang' dibuatnya dalam waktu 2 hari, padahal menurutnya ia sudah sangat lupa dengan cerita tersebut,
"Singkatnya, cerita ini mengisahkan sebuah pohon besar yang batangnya diyakini warga Dayak sebagai asal mula sumber padi/beras. Kalau goresan berjumlah tujuh di lukisan ini, menceritkan bahwadunia  ini  terbagi  menjadi  tujuh  lapis. Saya tidak bisa menjelaskan secara rinci cerita ini. Karena memang bukan tugas saya," jelas Eddy.
Bukan sembarang orang bisa menceritakan seluruh cerita dari lukisan tersebut. Menurut Eddy,Warga Dayak yang bisa menceritakan soal cerita leluhur disebut  mengsana, artinya orang yang bisa menceritakan cerita leluhur mereka.