Pasalnya penghentian Liga 1 bakal membawa masalah baru tidak hanya persoalan klub yang bakal kebingungan karena sudah terlanjur mengikat kontrak dengan pemain, atau persoalan pemain yang juga bakal kebingungan mau dikasah makan apa anak istrinya jika larangan ini memikiki durasi waktu tak jelas, matinya kompetisi sepakbola bakal membuat gesekan antra suporter di akar rumput lebih meluas.
Kondisi ini yang sebenarnya tak dicermati oleh pihak PSSI mengambil keputusan tersebut. Sepakbola tidak hanya di Jakarta dan Bandung, hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki wakilnya di kompetisi Liga 1. Penghentian Liga 1 ini tentu membuat basis suporter yang awalnya tak memiliki gesekan dengan basis suporter lain, dalam hal ini Bobotoh bakal mengeluarkan reaksi keras.
Saling tuding dan menyalahkan antar suporter di basis akar rumput sebenarnya bisa dilihat dari postingan di sejumlah sosial media sebelum PSSI keluarkan keputusan tersebut. Basis suporter yang merasa selama perhelatan Liga 1 ini tak melakukan tindakan melawan hukum justru akan sangat dirugikan dengan penghentian Liga 1 ini, siapa yang mereka salahkan? Tentu saja tragedi akhir pekan lalu di luar Stadion GBLA.
Bagi suporter di basis akar rumput, satu-satunya hiburan bagi mereka tentu saja sepakbola. Tidak hanya sekedar hiburan, sepakbola juga menanggung hajat hidup sebagian besar para suporter. Tengok saja sejumlah basis suporter yang coba berdaya secara ekonomi dengan menjual pernak pernik serta jersey tim kebanggaan mereka. Saat liga dimatikan, siapa yang bakal menanggung hidup mereka?
Apalagi kemudian setelah liga kembali digulirkan, PSSI kemudian tidak banyak melakukan terobosan anyar meredam konflik ini. Keputusan yang diambil kemudian hanya sekedar denda uang dan sanksi 'ringan' semata. Tentu saja hal itu makin memperuncing konflik antar suporter itu sendiri.
Tragedi yang menimpa Haringga Sirilla di Bandung akhir pekan lalu jelas kita semua mengutuk dan tidak ada satu alasan pun yang bisa membenarkan aksi bejat para pelaku, namun tidak hanya kejadian Haringga yang kita kutuk, kita pun wajib mengutuk dan menuntut PSSI serta aparat keamanan atas kejadian-kejadian berdarah lainnya.
Apa kabar kasus Banu Rusman, suporter Persita yang tewas dikeroyok orang berambut cepak di Stadion Mini Cibinong? Lalu kabar kasus Micko Pratama, bonek yang juga tewas dikeroyok di Solo? serta kasus-kasus berdarah lainnya yang selama ini jadi tanda tanya besar di kalangan suporter, bisakah PSSI memberi rasa keadilan untuk kasus-kasus yang lainnya juga?
Keputusan Edy Rahmayadi menghentikan kompetisi mungkin terinspirasi oleh Margaret Thatcher yang juga pernah mengeluarkan kebijakan penghentian liga, namun Edy tak akan pernah menjadi atau dikenang setegas si Wanita Tangan Besi itu jika kemudian tak berani menghukum klub besar yang basis suporternya memang melakukan tindakan melawan hukum.
Kesimpulannya, menghentikan kompetisi bisa datangkan masalah baru di kemudian hari. Keputusan yang tepat ialah memberikan hukuman ke semua klub yang suporter melakukan tindakan melawan hukum dalam periode 5 tahun ke belakang.
Apa hukumannya? tentu saja yang membuat jera, degradasi dan pengurangan poin. Lantas bagaimana suporternya? Berdayakan di ruang-ruang ekspresi yang bisa mendatangkan nilai ekonomis bagi kehidupan mereka, tentu saja di ranah ini PSSI bisa bersinergis dengan banyak lembaga negara, Bekraf misalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H