Judul di atas mungkin sedikit horor namun jika menengok arsip-arsip lama terkait kondisi sosial ekonomi Indonesia di periode 1965, kita akan menemukan kemiripan dengan kondisi saat ini. Tidak mirip-mirip betul dan tidak sama-sama betul.
Di kondisi saat ini, masyarakat tengah mengeluh karena kondisi mikro ekonomi yang carut marut, harga-harga kebutuhan pokok melambung, dan nilai tukar rupiah kepada dollar terus melemah. Di penutupan hari ini, Rabu 05 September 2018, rupiah ditutup di angka Rp 15.029. Mengerikan.
Sejumlah pengamat dan para pakar yang berseberangan dengan pemerintah pun ramai-ramai membumbui kondisi ini dengan cerita-cerita dan analisis yang bikin rakyat di kalangan akar rumput makin merinding ketakutan.
Sebaliknya pengamat serta menteri pemerintahan juga ramai-ramai membantah spekulasi soal resesi ekonomi yang bakal dihadapi Indonesia akibat kondisi ini.
Presiden Jokowi pun sudah buka suara terkait kondisi ekonomi Indonesia sekarang. Jokowi menggarisbawahi soal kondisi ekonomi ini tidak hanya negara kita yang merasakan namun juga negara-negara lain di dunia seperti Argentina.
"Tidak hanya negara kita, Indonesia, yang terkena pelemahan kurs, tidak hanya Indonesia. Ini faktor eksternal yang bertubi-tubi. Saya kira yang paling penting kita harus waspada, kita harus hati-hati," kata Jokowi seperti dinukil dari tribunnews.com
Jawaban yang tidak cukup meredakan ketakutan publik.
Nah kembali ke soal kondisi sosial ekonomi Indonesia di era 1965 dengan saat ini, kita menemukan kesamaan sebenarnya soal bagaimana pemerintah, pengamat, pihak oposisi yang menggoreng kondisi tersebut sampai ke titik didih dan pada akhirnya membuat bangsa ini merasakan tahun-tahun kelam.
Kesamaan tersebut bisa dilihat dari campur tangannya pihak oposisi memanfaatkan kondisi ekonomi yang tengah jatuh dengan pernyataan dan aksi yang menyeramkan. Pemerintah Soekarno pun pada saat itu juga tidak memberikan jawaban dan kebijakan yang bisa membuat situasi ekonomi kembali normal.
Soekarno malah sibuk membuka ruang konfrontasi antara pihak komunis dengan Angkatan Darat untuk saling gontok-gontokkan. Di sisi lain, pihak oposisi yang pernah terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta pun dengan lugas tampil ke publik dan menyerang pemerintah karena tak mampu meredakan gejolak ekonomi saat itu.
Pada level tertentu hampir sama dengan gerakan tagar ganti presiden 2019 yang masif dilakukan dan menemukan lawan yakni massa pro pemerintah, di era 1965 pun aksi-aksi antara massa pro pemerintah dan anti pemerintah pun juga terjadi. Jika 1965 isu yang digunakan seputar landreform, maka di Indonesia saat ini isu terkait Pilpres 2019 jadi yang digoreng.