PELAJARAN PARA CAPRES
Sudah berlalu tetapi tetap tidak boleh dilupakan sebab itu adalah sejarah perjalanan kehidupan bernegara di Indonesia.
Menjadikan pengalaman, maka persoalan PDIP dan Presiden, boleh membukakan pikiran para Calon Presiden di masa yang akan datang untuk membenahi konsep kerjasama partai ketika memproses kampanye.
Memang terasa sejak awal bahwa ketika Joko Widodo yang dicalonkan PDIP sebagai presiden, maka kebijakan kepresidenannya ada dibawah bayanganan keputusan partai. Faktanya kemudian dalam hubungan presiden dan partai pendukung mendekati apa yang didugakan, yang begitu kental terlihat ketika PDIP mengukuhkan Megawati sebagai Ketua Umum terpilih untuk masabakti berikutnya.
CAPRES BUKAN KADER
Adalah betul ketika PDIP mengusung Joko Widodo menjadi Capres, sebab ia sebagai tokoh publik yang dianggap mampu untuk menjadi ujungtombak politik yang mendorong dukungan rakyat bagi partai; namun yang menjadikannya salah adalah ia bukan kader murni partai. Terlepas sejak kapan ia bergabung sebagai kader partai, namun kenyataannya ia hanya ditetaskan oleh partai.
Sangat berbeda dengan semua presiden sebelumnya.
IBARAT NAIK ANGKOT
Saya menilai, bahwa semasa proses sampai berakhir kampanye, adalah seluruh kosentrasi Joko Widodo terikat pada tujuan untuk menjadi orang nomor satu Indonesia. Fokus ini menutup rencana apa yang harus ia lakukan sebagai seorang presiden kelak, baik kepada rakyat maupun kepada partai; dan ketika ia terpilih, makaproses selanjutnya adalah kenyataan seperti apa yang terlihat sekarang ini.
Dalam apapun hasil pergolakan hubungan Presiden Joko Widodo dan PDIP selama menjalankan negara enam bulan awal ini, namun apa yang ia lakukan adalah jauh dari harapan umum. Dan buktinya tampak jelas bahwa ia tidak mampu mempertahankan tingkat nilai kekuatan fundamental ekonomi Indonesia, yaitu mempertahankan US$ pada 12.000 IDR; padahal harapan demi harapan dulu ia biasa menguatkan IDR ke 10.000 point.
Dalam berbagai hal melatarbelakangi yang tidak diumumkan, dampak semua keputusan Presiden Joko Widodo menambah susah rakyat bawah dalam keseharian hidup. Kebetulan karena rakyat bawah harus memusatkan usaha untuk mendapatkan makan di setiap hari, maka membuat kosentrasi rakyat memilih untuk pusing mengurus dapur katimbang pusing mengurus janji kampanye.
Dampak rakyat yang survival begini tidak disadari Presiden Joko Widodo telah semakin menambah percepatan proses pelemahan fundamen negara.
Terutamanya adalah Presiden Joko Widodo melupakan PDIP sebagai partai yang bagus dimata rakyat bawah, yang sejak hari pertama ia memenangkan kursi kepresidenan seharusnya ia tetap menggunakan fungsi partai sebagai pendorong kekuatan rakyat untuk menolong dirinya dalam menjalankan negeri; tetapi saya melihat, Presiden Joko Widodo melakukan yang sebaliknya, ia meninggalkan partaiyang mengontrol bagian terbesar rakyat bawah.
Dan kini sebagai Presiden Indonesia, semua keputusan dalam pemerintahannya memblunder kepentingan rakyat umum juga kepentingan partai.
Semestinya, jika Presiden Joko Widodo melakukan keputusan yang menyusahkan rakyat, tidak usahlah ia juga melakukan keputusan yang menyusahkan partai pengusungnya. Saya melihat, ia tidak memposisikan diri untuk berpihak partai dan juga ia tidak berpihak rakyat bawah.
CAPRES MASADEPAN
Pelajaran besar bagi capres Indonesia di masadepan; terlepas ia kader partai atau bukan; bahwa capres itu bukan hanya sekedar mau jadi presiden, tetapi tujuan utama adalah kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat itu adalah cita-cita yang ia janjikan semasa kampanye, sebab mulanya ia adalah rakyat yang paling mengherti persoalan rakyat.
Ia akan melaksanakan semua usaha; bukan kepentingan pribadi, juga bukan kepentingan partai, namun kepentingan rakyat yang tersalurkan lewat partai, dan diaplikasikan olehnya sebagai presiden.
Jangan dibalik, menjadi presiden melakukan kepentingan diri sendiri, lalu mengabaikan partai, dan melupakan rakyat.
Janganlah ibarat naik angkot, setelah tiba di tujuan, bayar, ya tetap bayar; namun tidak ingat lagi angkot mana yang ia tunpangi.
CAPRES ITU PEMIMPIN, MULUT DAN TANGAN SAMA TINDAKAN
Dasar dan pokok seseorang maju sebagai capres karena ia memiliki rencana menjalankan negara demi kebaikan rakyat. Namun yang selalu disesalkan adalah ketika ia menjadi presiden, maka bergantilah melakukan rencana yang pro rakyat itu menjadi melakukan apa adanya kejadian harian; yaitu bukan presiden mengendalikan keadaan tetapi keadaan mengendalikan presiden
Sebelum ia mencalonkan diri sebagai capres, ia mendasarinya dengan prinsip. Kemudian ia sebagai capres harus menjalankan prinsip itu, melebur program partai yang bertujuan sama dengan rencana yang ia miliki, lalu disampaikan kepada rakyat.
Capres selalu melupakan, suara yang mendominasi ia dimenangkan bukan datang dari kroni, kerabat, dan konco; tetapi datang dari rakyat bawah.Sebab itu, capres yang sejati adalah capres yang berprinsip, mulut dan tangan sama tindakan; bukan tangan bertindak dengan segala cara untuk merealisasikan ambisi, dan bukan membuang mulut yang berjanji memulihkan negeri.
Capres yang sejati itu adalah pemimpin bangsa, hati, mulut, dan tindakan adalah sama. Ia dan partai adalah rakyat Indonesia yang sama, bertujuan sama untuk kesejahteraan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia.
Capres sejati bukan menumpang suara rakyat bawah, lalu melakukan yang bukan untuk rakyat bawah.
SUMPAH MELAKUKAN YANG DIJANJIKAN
Capres yang sejati akan mengumumkan rencana yang ia harus lakukan, yaitu rencananya dan rencana partai yang sepenuhnya pro rakyat, lalu dikomitmenkan, dan ia bersumpah kepada rakyat, bukan sumpah “perjanjian siap kalah”, tetapi sumpah “perjanjian melaksanakan semua yang direncanakan”.
Seandainya janji dan rencana dalam kampanye yang dilaksanakan oleh semua presiden terpilih sejak tahun 1999, maka hari ini, nilai uang kita tetap ada di US$ 2000 IDR, BBM premix pun bisa ditetapkan 1 US$/liter; rakyat terbawah sekalipun bisa berpendapatan US$ 150 per bulan. Walaupun tidak banyak, namun kesejahteraan Indonesia sudah tercapai dalam satu dekade kemarin.
CAPRES YANG BERPRINSIP
Presiden yang ingat rakyat adalah presiden yang mensejajarkan diri tetap sama dengan rakyat, ia adalah pemimpin yang berkualitas sejati; ia punya prinsip dan ia tidak akan keluar dari janji; sebab partai dan rakyat memilih dia karena janji kampanye, bukan tindakannya sebagai presiden.
Hanya presiden yang punya prinsip yang mampu mengembalikan kesejahteraan rakyat, sebab ia bekerja sesuai rencana, langkah produktifnya stabil dari tangga ke tangga, dan melalui kebijakannya ia mengkokohkan negeri.
Presiden memimpin negara yang didalamnya ada pemerintah, partai, usaha, sosial, dan lingkungan; untuk dibawa kepada kesejahteraan bersama. Jika presiden memimpin dengan mulut dan tangan yang bertindak berbeda, maka Indonesia hanya akan berjalan apa adanya.
Berjalan apa adanya itu adalah Indonesia membesar karena populasi yang bengkak yang harus diberi makan, tetapi bukan membuat makanan sendiri, namun mengharapkan makanan disediakan orang lain. Indonesia semakin besar bukan karena kualitas rakyat membuat pendapatan sendiri, tetapi Indonesia kembung karena disesaki oleh kesibukan orang lain yang memproduksi habis kekayaan tanah dan air negeri menjadi pendapatan mereka. Rakyat menukar warisan nenek moyang yang tak terhingga nilainya dengan kebanggaan terima gaji yang hanya bisa bayar kredit, sementara barang yang dikredit pun bukan milik nenekmoyang.
Berjalan apa adanya itu adalah tukar warisan dengan keringat, ketika hilang keringat baru sadar telah hilang pusaka.
Indonesia ini menjadi besar karena apa adanya, maka ekonomi Indonesia ini bukanlah milik rakyat; jadi hanya presiden sejati yang bisa memulihkan Indonesia pada citra, hakikat, dan kualitas, yang terbuktikan pada kesejahteraan rakyat.
Dan presiden sejati itu adalah presiden yang berdiri diatas prinsip, yaitu menjalankan yang ia janjikan kepada rakyat.
Salam Indonesia Sejahtera
Tuhan memberkati Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H