TERIMAKASIH KEDUA KALI
Bagaimanapun juga, apapun titiktolak alasan, saya tetap berterimakasih kepada pemerintah yang telah menurunkan harga BBM niaga untuk yang kedua kalinya. Terimakasih kembali untuk yang kedua kalinya pula.
Namun saya tetap sedih.
Kebijakan menurunkan harga ini seharusnya tidak dilakukan setelah menaikkan harga dari Rp 6500 menjadiRp 8500 pada 18 Nopember 2014 lalu.
Tidak ada gunanya lagi harga BBM lagi turun ke Rp 6600, yang notabenanya naik Rp 100 tapi semua harga barang sudah naik yang jauh lebih besar daripada persentase Rp 100 itu.
Kebijakan pemerintah Nopember 2014 itu telah mengakibatkan harga segala-gala barang dan jasa naik, lalu 2 kebijakan berikutnya malah bikin harga barang dan jasa susah turun. Jika nanti beberapa bulan lagi, harga BBM dinaikkan lagi, lalu turun lagi, bukankah ekonomi rakyat malah dibikin tambah babakbelur?
Harga barang dan jasa langsung naik dengan cepat begitu harga BBM naik, tetapi sulit turun begitu harga BBM turun.
Apakah yang mendorong kebijakan pemerintah sehingga tidak melihat hal ini?
Jika besaran naik turun Rp 20 – Rp 50, tidak akan mempengaruhi putaran niaga, namun dengan nilai Rp 1000 – Rp 2000 begitu, dampak ekonominya sangat mengacaukan perniagaan rakyat.
POKOK NIAGA DI TRANSPORTASI
Tokoh negara pernah bilang bahwa dampak BBM terhadap angkutan cuma 14 (?) %, tetapi buktinya, dampak angkutan justru luarbiasa pada harga barang dan jasa, apalagi pada psikis dan fisik rakyat.
Kenyataannya, seluruh nilai kenaikan harga mengikatkan diri di semua bagiannya kepada harga BBM. Dan masakah pemerintah menyangkal bahwa satu “penyumbang” terbesar dalam pelemahan nilai rupiah oleh karena kenaikan harga BBM?Lalu ketika nilai tukar rupiah melemah, bukankah transportasi pun bergerak menambah harga barang naik berganda?
Dalam berbagai alasan, namun tetap saja transportasi terikat penuh kepada harga BBM. Apakah dalam proses pembuatan sparepart tidak pakai BBM?
Naif bagi pemerintah jika berkilah bahwa harga BBM bukan penyebab naiknya ongkos transportasi.
LAPANGAN TAK BERTUAN
Tanggal 19 – 30 Nopember 2014 lalu, saya bayar ongkos angkot Rp 7000 – Rp 10.000 tergantung tagihan supir yangmana sebelumnya Rp 4000. Selama Desember saya bayar Rp 6000 – Rp7000, itupun banyak pakai sakit hati. Sejak tanggal 2 Januari 2015 saya bayar angkot Rp 5000 untuk route yang sama. Dan hari ini, masih sama Rp 5000, alasannya tidak ada kembalian Rp 250; walaupun mengikuti kata Organda Jakarta yg turun 5% mínimum itu.
Dengan ketetapan Organda yang begitu macamnya, bukankah pemerintah cuma main-main saja? Jika anak sekolah ongkosnya Rp 3000, apa logikanya sang sopir mengembalikan uang Rp 150 kepada si anak sekolah?
Bukan meremehkan pemerintah, tetapi kenyataannya pemerintah tidak bisa mendukung peredaran uang Rp 25 dan Rp 50.
Dan, sejak 19 Nopember 2014 itu ada beberapa kali saya mencoba mendapatkan hak penumpang, tetapi jika tidak mengalah, jadinya malah berkelahi gara-gara Rp 1000. Manakah pemerintah memperhatikan hal ini?
Beras di pasar sebelum 16 Nopember 2014, saya beli Rp 10.000/kg, tanggal 18 Januari 2015 beras saya beli Rp 13.000/kg. Apakah pekan depan harga beras itu bisa jadi Rp 10.000 lagi? Kapan jadi Rp 6000? Bisakah kembali menjadi Rp 100/liter? Atau Rp 100/kg?
Masakah kita rakyat sehari-hari harus tegang terus, was-was, tidak tenteram karena jantung berdebar setiap hendak melangkah ke pasar?
KAPAN PEMERINTAH BISA BERBUAT BIJAK KEPADA RAKYAT?
Memang saya tidak tahu apa alasan yang begitu kuat sehingga pemerintah mendorong menaikkan harga BBM niaga pada bulan Nopember 2014 tersebut, namun apakah pemerintah tidak memperhitungkan dampak total yang harus dipikul rakyat?
Tak usahlah menagih janji bulan Nopember 2014, jangankan kilah lagi, malah pastinya sudah dilupakan pula.
Semua rakyat bekerja mencari uang untuk hidup.
Bagi rakyat bawah, uang diterima tidak menenteramkan kehidupan sehari-hari. Sopir berdebar-debar menghadapi penumpang, penumpang berdebar-debar ketika membayar ongkos, orang ke pasar dengan susah hati ketika hendak belanja, orang menjual dengan berat hati harus mempertahankan harga. Barang di toko berpamer dengan bagus lalu dilihat oleh orang mau membeli, tetapi barang tetap terpajang sementara orang pun berlalu. Karyawan melangkah kerja lalu mendapat gaji, lalu gaji lepas tidak lewat 1 pekan, karena memang tidak ada lagi yang bisa disimpan di bawah bantal.
Jika beras dibeli berkarung-karung, barang pajangan di toko dibungkus pulang, mobil bagus keluar dari showroom, bangku pesawat diduduki orang, pintu dibuka di apartemen baru, semuanya juga rakyat namunrakyat atas yang itu-itu saja.
Sementara pula, dalam pekerjaan di lapangan saya merasakan bahwa terjadi perubahan dimana temperamen pekerja lebih sensitif, lebih tegang, dan lebih keras dibanding sebelum bulan Nopember 2014.
Bagaimana pemerintah menyeimbangkan rakyat atas dan rakyat bawah ini?
PREMIUM UNTUK PLAT KUNING, PERTAMAX UNTUK PLAT WARNA
Jika pemerintah mau peka rakyat, mau peka kesejahteraan, dan mau peka masadepan, pemerintah seharusnya segera memberlakukan penggunaan pertamax bagi seluruh kendaraan bermotor, tetapi menahan Premium Rp 6.600 di harga hari ini, bagi kendaraan niaga.
Belum terlambat, harga barang belum ekstrim tinggi dibanding nominal harga tahun 2012. Jika pemerintah lakukan ini, maka produktifitas pemerintah disemua kementerian akan fokus kepada program kementerian, tidak terganggu ataupun diganggu-ganggu lagi oleh dinamika BBM.
Budgeting sudah stabil, prosesnya juga stabil, tinggal kementerian memproduksi hasil untuk kesejahteraan rakyat sesuai rencana kerja kementerian.
Sangat kasihan pada kementerian yang tidak terlibat dengan BBM, sebab ia kehilangan efektifitas kementerian karena energinya tersedot oleh gonjang ganjing BBM. Apakah pemerintah tidak mengetahui hal ini?
Jika pemda DKI bisa mengatur sepedamotor di jalan utama Jakarta, masakah pemerintah pusat tidak bisa mengatur pertamax untuk kendaraan pelat warna di indonesia?
Ini bukan proyek coba-coba, juga bukan proyek egoisme. Ini adalah jalan keluar satu-satunya, solusi satu-satunya, sebelum pemerintah bisa membuat Indonesia sejahtera merata.
Ada tindakan kedua yang mengikuti, melarang Premium diluar SPBN (stasiun pompa bensin niaga).
Jika ada Premium dimanapun di luar SPBN, pemerintah wajib menyita untuk negara. Saya yakin, dalam 6 bulan, rakyat Indonesia sudah mentaati hidup teratur dan mengikuti peraturan.
BBM niaga bukan milik satu-dua orang, tetapi milik pelat kuning. Masakah orang indonesia, dari puncak gedung mewah sampai ke tengah hutan belukar tidak menegerti bahwa pelat kuning itu kendaraan niaga?
Masakah motor pelat hitam walaupun reyot itu adalah kendaraan niaga? Masakah BMW sport pelat putih itu kendaraan niaga? Mau supaya jadi kendaraan niaga agar bisa antri di SPBN konsumsi bensin? Silakan sepedamotor reyot itu dan BMW sport itu pergi ke kantor polisi dan minta ganti pelat jadi pelat kuning. Beres. Sudah sah dan disetujui seluruh rakyat untuk antri isi bensin di SPBN.
Tokh sekarang ada Mercedes dan Alphard yang pakai pelat kuning.
Bagi sepedamotor reyot dan BMW sport dipersilakan, tidak ditolak. Jaguar, Bentley, dan RollsRoyce juga diperkenankan ganti pelat kuning.
Lalu ada rakyat yang paksa bawa drum dan jerican ambil bensin di SPBN, untuk dibotolkan dan di jual di pinggir jalan. Masakah pemerintah tidak bisa menolak melalui petugas di SPBN? Mungkin saja ada rakyat yang pindahkan bensin dari tangki kendaraan pelat kuningnya, lalu dibotolkan dan di jual di pinggir jalan. Bukankah pemerintah bisa beri nasihat bertahap, boleh jual Pertamax di pinggir jalan, tapi tidak Premium. Lalu pemerintah menyita. Tahap berikutnya menyita sambil mendenda, masakah rakyat tidak mau menurut?
Masakah pemerintah bisa menggusur pedagang kakilima untuk membuat taman kota, menetapkan “three in one”, menutup jalan bagi sepedamotor, tapi tidak bisa mengatur pinggiran jalan bebas Premium?
Masakah pemerintah tidak bisa menyebarkan pembangunan SPBN di jalur route pelat kuning?
Masakah pemerintah tidak bisa menyediakan solar bagi nelayan dan petani? Masakah pemerintah tidak mengetahui cara mengatur distribusi solar untuk penggunaan industri kecil sampai besar?
Masakah pemerintah takut BBM niaga diselewengkan di SPBN dan kongkalingkong dengan penjual pinggir jalan? Masakah pemerintah bisa kebobolan? Atau tetap bocor dan bocor terus? Masakah pemerintah mau menteledorkan diri sehingga BBM niaga, bensin dan solar dimanfaatkan oleh orang yang tidak berhak?
Aduh, aduh, aduh, masakah pemerintah tidak bisa mengatur rakyat untuk kebaikan rakyat sendiri?
TANTANGAN ULANG
Karena tidak mungkin minyak dunia turun harga sampai gratis, maka pemerintah sudah unggul di seluruh dunia denganprogram BBM pelat kuning ini.
Harga Pertamax type A-Z boleh naik turun mengikuti harga minyak dunia, tanpa mengganggu energi niaga dalam negeri, sebab ekonomi Indonesia disokong oleh rakyat sepenuhnya, bukan hanya semata-mata dipikul pemerintah.
Memberlakukan ini, persoalan BBM akan tuntas lunas, tidak ada subsidi-subsidi lagi karena pelat warna yang menopangnya, dan tidak perlu naik-turun lagi karena harga BBM niaga tetap sampai 2024, BBM niaga tidak terikat luar negeri lagi, dan program pelat kuning ini ini memberi kestabilan ekonomi tahun demi tahun, mengembalikan kekuatan rupiah, memberi kestabilan kerja bagi semua lapisan baik usaha, pemerintah, maupun rakyat, dan boleh juga sebagai bonus diperpanjang sampai 2045, barulah seluruh BBM jenis Premium ditiadakan di Indonesia.
Sejak tahun 2024, Indonesia sudah mampu mandiri, ekonomi kuat, pajak bukan dominan APBN, sebab pemerintah juga sudah punya pendapatan lain yaitu melalui proyek 50R, pengelolaan tanah dan air yang efisien, efektif, produktif, dan harmonis.
Monggo.
Salam Indonesia sejahtera
Tuhan memberkati Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H