Oleh Prof Edo Quiko
Meskipun penulis tinggal lebih dari lima puluh tahun di luar negeri tapi menyaksikan Indonesia maju dan besar selalu menjadi impian. Memang penulis jauh dalam jarak tapi selalu dekat sekali dalam hati karena Indonesia adalah tempat kelahiran.
Sejak kembali dari Amerika beberapa waktu lalu, saya menyaksikan kehebokan politik terkait dengan isu Freeport  yang mengecilkan hati penulis serta kurang bermanfaat bagi  kemakmuran rakyat terutama yang mereka kelompok miskin.
Dalam artikel ini saya akan mencoba membahas isu Papua dan Freeport- McMoran, Inc yang terdaftar sebagai perusahaan di Phoenix, Arizona. Menelisik sejarah, terbentuknya Freeport  tidak terlepas dari kondisi politik global pada era perang dingin antara suku Komunis yang dipimpin oleh Moskow dan Demokrasi dibawah gegaman Barat terutama Amerika. Di Barat pemimpin nasionalis Indonesia, Bung Karno disegani dan bahkan mereka berusaha untuk menjatuhkan pemerintahannya melalui CIA pada jaman Eisenhower dengan mendukung Pemberontak Permesta di Sulawesi dan PRRI di Sumatera. Usaha Amerika gagal.
Pada saat itu, Belanda sangat resah dengan kegagalan Amerika, angota sekutunya yang tidak dapat menjatuhkan Soekarno. Belanda setelah tahun 1949 berharap agar Papua Barat bisa merdeka. Usaha ini ditentang oleh Soekarno yang berpendapat bahwa kemerdekaan Indoneisa adalah atas semua teritori yang dikenal sebagai "Dutch East Indies" yang termasuk Papua Barat. Pada mulanya Amerika sependapat dengan Belanda, namun pada akhirnya Amerika setuju bahwa Free Papua Movement di pulau yang disebut oleh CIA sebagai "cannibal land"Â yang belum dapat memerintah dan merdeka. Dorongan lainnya dari pihak pedagang Amerika seperti Rockefeller yang sudah beroperasi di Indonesia melalui Caltex dan Standard Oil dan pengusaha-pengusaha Belanda, Canada, dan lainnya, juga banyak pengaruhnya yang pada akhirnya diadakan kompromi melalui kesepakatan yang dikenal sebagai "the New York agreement" yang ditandatangani oleh Belanda dan Indonesia pada tahun 1962.
Bagi pedagang mineral Barat atau Amerika pada umumnya, Indoneisa sangat kaya dengan mas, minyak, copper, gas, dan nikel. Ada yang menduga uraninium. Tapi pemimpin nasionalis yang populer masih memegang kekuasaan. Ditambah lagi masuknya pengaruh Soviet Komunis dan RRC melalui PKI. Ini sangat mengkwarirkan kaum investor Barat. Amerika dengan aparat CIA mencoba membunuh Soekarno tahun 1962 dan gagal. Akhirnya mereka merasa berhasil ketika Bung Karno dijatuhkan tahun 1965 bulan Oktober. Pemerintah Amerika segera memberi dukungannya kepada pemerintah baru di bawah Presiden Suharto. Untuk Amerika ini adalah kemenangan kampanye demokrasi dan PKI dihancurkan sesuai dengan rencana Washington di tengah suasana perang dingin.
Sementara itu, apakah nasib rakyat di pulau yang kaya raya ini? Peperangan antara tentara RI dan pemberontak OPM terus berlanjut, sementara Freeport terus menjalankan usahanya. Pada tahun 1964 Freeport berkoalisi dengan Australia dan dua tahun kemudian Freeport Indonesia dibentuk (1966). Hasil penggalian masuk ke pengusaha bukan rakyat penduduk Papua.
Perjanjian pembagian pendapatan adalah untuk beberapa orang di pemerintah RI, pengusaha asing dan bukan buat pembangunan daerah dan masyarakat Papua. Pada tahun 1969, sesuai dengan provisi dari New York Agreement, plebisit berdasarkan "the act of Free choice" (Undang-Undang Bebas Memilih) yang dikeluarkan oleh pemerintah Suharto. Hasil pemilihan terdiri dari 1025 rakyat Papua yang dipilih pemerintah RI sudah bisa diterka yaitu Papua memilih untuk integrasi dengan RI. Pertanyaannya, kenapa pemilihan ini terbatas dan tidak ada supervisi dari PBB? Tentu hal ini sangat menyenangkan bagi Freeport.
Usaha untuk membebaskan Papua, yang juga dikenal sebagai Irian Barat, berlangsung di tempat suku-suku lokal Irian yang tidak setuju bersatu dengan RI sejak 1965 sampai sekarang. Di tingkat interternaional terutama di Amerika Serikat usaha ini dipelopori oleh seorang angota Kongres Amerika bernama Donald Payne (New Jersey) dan Eni Faleomavaega (Semoa Amerika). Silahkan baca artikel yang penulis terbitkan di Kompas berjujul "Waspadai Black Caucus dan Papua" tanggal 19, 2005.
Sekali lagi penulis menggarisbawahi betapa pentingnya bagi pemerintah RI untuk memperhatikan pengeksplotasian Freeport cs di Indonesia yang sudah bertahun-tahun ini. Silakan baca artikel yang berjujul "Memperhatikan Suara AS Soal Papua Barat" yang dterbitkan oleh Seputar Indonesia tanggal 15 Oktober 2010. Kesimpulannya masih sama yaitu ketidakpuasan orang Papua, tuan rumah daerah terkaya dengan emas, sulphur, dan sumber alam lainnya terhadap pemerintah RI harus dimengerti karena kehidupan dan pembangunan di Papua masih sangat terbelakang dibanding dengan daerah RI lainnya. Lingkungan hidup, infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial lainya masih sangat minimal.
Akhir-akhir ini banyak diberitakan berbagai isu miring  mengenai keberlanjutan  Freeport dan pemerintah RI baik dari eksekutif dan legislatif, khususnya menyangkut  persoalan kepala DPR Setya Novanto yang sudah menhebohkan dan memalukan sistem politik Indonesia. Tuduhan pelanggaran etik oleh Novanto ini tidak perlu menjadi panjang dan berlarut-larut yang makan ongkos yang tidak pantas mengingat kemiskinan rakyat yang masih banyak di seluruh negeri termasuk Papua. Majelis Kehormatan Dewan dalam delebrasinya sangat komikal dan mungkin juga melanggar peraturan persidangan yang terdiri dari non pengacara yang berhak praktik hukum. Fokusnya majelis harusnya memeriksa bila ada pelanggaran etik oleh Novanto.