Oleh : dr. Donny Atmadjaja
Tepat dipenghujung tahun 2014, Pemerintah Indonesia mendeklarasikan kampanye gerakan minum jamu. Tiga kementerian antara lain Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM, serta Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia, turut meramaikan kampanye minum jamu yang jatuh pada setiap hari Jum’at.
Kampanye minum jamu juga didukung penuh oleh Presiden Joko Widodo. Dalam setiap safari dan aktifitasnya, Presiden Jokowi kerap memperlihatkan kebiasannya menenggak segelas jamu.
Namun sayang, kampanye yang sudah masuk tahun ketiga ini tidak membuahkan hasil yang maksimal. Meski sudah di buzzer oleh Presiden dan Menteri, kampanye minum jamu sepertinya tidak banyak menarik perhatian masyarakat kita. Padahal kampanye minum jamu sama pentingnya dengan kampanye politik. Benar demikian?
Menggiring warga untuk membiasakan minum jamu memang tidak mudah pada saat ini. Berbeda jika kita melihat orang terdahulu yang memang berteman akrab dengan jamu yang berasal dari bahan bahan-bahan alam seperti bagian tanaman, misal : akar, kulit batang, bunga, biji, daun dan buah1. Ada pula bahan yang berasal dari bahan hewani seperti madu, royal jelly, susu dan telur ayam kampung. Nah, tugas terberatnya adalah mengubah paradigma (pola pikir) masyarakat tentang jamu sebagai khasiat dan alternatif pengobatan dan pencegahan penyakit.
Jamu diterapkan oleh ahli pengobatan pribumi yang disebut “dukun”. Meskipun demikian, jamu umumnya diramu dan dibuat oleh para perempuan yang menjualnya di jalanan, yang disebut “mbok jamu”. Umumnya resep jamu tidak dituliskan tapi diwariskan dari generasi ke generasi. Buku pedoman untuk jamu yang digunakan oleh keluarga-keluarga di seluruh Hindia-Belanda diterbitkan pertama kali tahun 1911 oleh Nyonya Kloppenburg-Versteegh6.
Hal yang menarik tentang jamu ialah proses penelitian dan pengembangannya justru dipelopori oleh ahli pengobatan dari dunia Barat (dokter), disebabkan karena para ahli pengobatan Barat tsb tidak mengetahui bagaimana mengatasi penyakit-penyakit yang mereka jumpai selama berada di daratan Hindia-Belanda(Indonesia). Sebagai contoh ialah Jacobus Bontius (Jacobus De Bont),seorang dokter Belanda yang bertugas di Batavia (Jakarta) pada awal abad 177. Beliau menulis kepustakaan tentang obat asli Hindia-Belanda(Indonesia). Rumphius - seorang dokter yang bertugas di Ambon – menuliskan buku berjudul Herbaria Amboinensis (The Ambonese Spice Book)pada awal abad 188.
Padahal kita semua tahu bahwa bangsa yang besar ialah bangsa yang mau menghargai warisan ilmu dan budayanya. Dan suatu kewajiban mutlak bagi setiap orang untuk menghargai dan turut melestarikan warisan bangsanya, dari manapun ia berasal.
Kita tahu bahwa bangsa China diwariskan oleh nenek moyang mereka ilmu pengobatan tradisional seperti akupuntur dan TCM(Traditional Chinese Medicine) yang begitu mendunia. Yang perlu juga kita ketahui ialah kedua ilmu tadi ternyata dijadikan mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan dokter di Tiongkok. Sehingga dokter lulusan fakultas kedokteran di Tiongkok menjadi “dokter plus” yang bisa mempraktekkan dan mengkombinasikan ilmu pengobatan Barat yang berbasis kimia dan ilmu pengobatan Timur yang berbasis natural. Bahkan, konon, rumah sakit di Tiongkok memiliki 2 “jalur”, yaitu jalur “Barat”, dimana pasien akan mendapatkan pelayanan kesehatan seperti RS pada umumnya dan jalur “Timur”, dimana pasien bisa memilih untuk mengakses pelayanan kesehatan seperti akupuntur atau TCM.
Begitu pula dengan bangsa Korea yang terkenal dengan tanaman herbalnya berupa ginseng. Penulis pernah mendengar bahwa petani ginseng di Korea disubsidi penuh oleh pemerintah untuk membudidayakan ginseng, dimana metode pembudidayaannya sangat ketat(konon memakan waktu sekitar 6 tahun)demi menjaga kualitasnya. Coba bandingkan dengan Indonesia yang merupakan “gudangnya” tanaman berkhasiat obat, dimana 75% spesies tanaman obat di dunia berasal dari bumi Indonesia..!! Adakah pembaca pernah mendengar tanaman obat asli Indonesia yang mendunia bahkan menjadi “trademark” bangsa Indonesia..?