[caption id="" align="aligncenter" width="507" caption="Steven Gerrard (gettyimages)"][/caption] Halo, Saya tahu kemungkinan anda membaca tulisan saya ini adalah satu banding satu juta, sangat tipis sekali. Tapi tak apa, saya memang sudah lama ingin menulis tentang anda tapi masih belum tau ingin menulis tentang apa. Eh supaya enak saya panggil Mas aja, boleh kan? Jadi Mas Gerrard, Hehe. Jumat tadi pagi saya melihat banyak berita hilir mudik yang menyatakan mas gerrard akan meninggalkan liverpool pada akhir musim 2014-2015 dan baru tadi siang saya yakin bahwa berita itu benar ketika melihat pengumuman resmi dari akun twitter resmi LFC. Wah, iki piye toh mas? Kok kesannya mendadak sekali? Ada apa? Pertanyaan pertanyaan itu terus berputar di kepala saya. Spekulasi pun mulai muncul di benak saya tapi yasudahlah, saya tak mau memusingkan itu. Saya pribadi hanya menyayangkan. Secara personal, walaupun saya penggemar rival abadi klub mas gerrard tapi saya bersikukuh kalau mas gerrard ini pantas untuk minimal satu kali mengangkat dan mencium medali premier league di karir mas. Setelah pengabdian dan keloyalan mas gerrard yang mirip dengan mas scholes dan giggsy, seharusnya mas gerrard pernah satu kali mencium medali itu, ya harusnya. Tapi kepantasan ini hanyalah tinggal sebuah kepantasan semu semata, karena sepertinya penyebabnya ada di dalam diri mas gerrard itu sendiri. Lancangkah saya berbicara? Mungkin, tapi kelancangan saya ini didasari oleh sebuah statement dari pelatih kesayangan mas sendiri: Rafael Benitez Benitez pernah bilang seperti ini kepada mas:
"Your problem is you run around too much. You was playing with too much passion" – that is, running around like an idiot and BenÃtez tried to persuade Gerrard to play more with the head and less with the heart. (sumber: The Guardian)
Buat saya pernyataan itu sudah cukup merangkum kenapa mas belum pernah memenangkan liga. Walau terdengarnya saya sok tahu dan sok mengerti, tapi yang saya tahu liga adalah sebuah marathon bukan sprint. Dan buat saya, mas ini adalah sebuah sprinter yang sangat baik. Pandai membakar energi begitu cepat, baik energi mas sendiri atau teman teman tim mas. Lihat saja bagaimana gigihnya mas ketika di Istanbul kala itu, yang menasbihkan final 2005 itu sebagai final terbaik sepanjang masa. Walau saya tidak sependapat. Hehe Tapi bagaimana tentang konsistensi?bagaimana kalau mas sudah terlalu emosi?sudah tidak bisa menahan gejolak darah yang mengalir keseluruh badan? Lalu akhirnya hilang konsentrasi dan jatuh di tengah jalan. Bukankah itu esensi dari sebuah marathon? Sebuah liga? Contoh riil dari ini adalah ketika tim mas menang 3-2 dari manchester city. Saya ingat betul waktu itu saya ada di kereta menuju stasiun bogor dari pasar senen, sehabis mengantar adik saya pulang ke jogja. Tiap menit saya pantau live tweet dan berharap tim mas kalah walau baterai saya tinggal 11 persen. Saat sampai stasiun tanjung barat, peluit sudah dibunyikan dan liverpool menang lalu menduduki posisi pertama dan tinggal menyisakan tiga match sisa lagi. Sial, mimpi buruk buat saya kala itu. [caption id="" align="aligncenter" width="514" caption="Stevie G and Rafa Benitez (dailymail)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H