Mohon tunggu...
Muhamad Rifki Maulana
Muhamad Rifki Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Just write

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bedah pernyataan "Masih Ada yang Dibawah Kita, Kita Harus Bersyukur"

23 Agustus 2014   23:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:44 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sering lucu kalau ada yang bilang: “Tenang yang dibawah kita masih banyak.” Bukan lucu karena pernyataan tersebut mengandung sense of humor, tapi lucu kalau kita pakai analisis studi kasus seperti ini.

Asumsikan ada 1000 orang dalam suatu kota atau suatu tempat dan mereka mengucapkan hal yang sama. “Masih ada yang dibawah kita, kita harus bersyukur”. Pertanyaannya: “Siapa yang paling bawah? Siapa yang paling atas?”

Bingung kan? Kalau mereka semua bilang hal yang sama berarti saya ambil kesimpulan kalau penderitaan dan kesenangan sebenarnya bukan masalah hal ukur-ukuran dan juga bukan sebuah sesuatu yang riil. Penderitaan dan kesenangan lebih bersifat imajinatif. Membayangkan ada yang dibawah kita membuat kita tenang, membayangkan ada yang diatas kita membuat kita terpacu dll itu semua hanyalah masalah imajinasi. Imajinasi orang,untungnya, berbeda-beda.

Btw, pernyataan “Tenang masih banyak yang dibawah kita, kita harus bersyukur” itu kalau dipikir-pikir pernyataan yang dilematis juga ya. Ada orang dibawah malah membuat kita tenang dan bersyukur. Dari masalah kebiasaan berucap kaya gitu aja sebenernya udah jelas paham paham growth oriented  yang ke-kapitalis kapitalisan udah kentel. Terus kenapa kita masih pura-pura jijik dan demo sama kapitalis blabla tapi nyatanya pernyataan kita sehari-hari berbau kental akan hal itu?

Coba pernyataannya diganti: “Wah masih banyak yang dibawah kita, mari kita bantu, supaya kita bersyukur bareng-bareng?” Enak kali ya dengernya macam dunia udah damai tinggal menunggu kiamat datang.

Tapi pertanyaan lagi timbul: “Emang yang dibawah mau ke atas? kalau mereka ternyata bahagia bahagia aja dibawah dan merasa nyaman untuk tetap stay disitu?”

Pusing. Karena semuanya itu tidak riil, tidak ada standar baku, kompleks. Sama kaya masalah siapa sebenarnya yang boleh duduk di kursi KRL, itu super kompleks.


PS: Ide tulisan ini muncul ketika penulis sedang berhimpit-himpitan di gerbong ketujuh kereta jatinegara-bogor. Dan disana ada seorang pria kira kira 45 tahun segar yang sedang sibuk main gadget duduk di kursi prioritas dan tidak mau mengalah untuk memberikan tempat duduk kepada dua orang buta yang memilih berdiri di kereta.

Buta itu pilihan ya ternyata, buta mata atau buta hati

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun