Mohon tunggu...
Muhamad Rifki Maulana
Muhamad Rifki Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Just write

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Surat dari Pengguna Commuter Line

27 Maret 2015   16:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:55 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Source: Kaskus"][/caption]

Halo, bapak dan ibu yang terhormat.

Perkenalkan saya rifki. Saya bukan siapa siapa, hanya pegawai biasa yang baru lulus kuliah tahun lalu. Saya menulis disini karena saya pengguna setia commuter line. Hampir setahun saya menjadi pengguna rutin, nyaris semingggu tujuh kali. Saya juga bukan pengguna yang baru, dari saya SMP saya sudah menggunakan fasilitas umum ini. Dari zamannya masih ada kereta express, ekonomi ac hingga kereta masih bisa turun di gambir saya pernah mengalaminya. Kereta, memang punya kenikmatan dan sensasinya sendiri. Kereta (seharusnya) tidak akan kena macet, (seharusnya) mempunyai jadwal yang pasti dan yang lebih penting lagi hemat di kantong. Bisa dibilang bagi orang yang tinggal di sekitar daerah jabodetabek, moda transportasi ini adalah moda transportasi paling favorit lah dibanding moda transportasi yang lain untuk menghindari macet. Tapi ada beberapa hal yang mengganjal di benak saya.

Tapi, bapak dan ibu, saya boleh menyampaikan pendapat kan? Kita negara demokrasi, kan? Saya punya hak kan? Hehe. Koreksi jika saya salah.

Jadi begini bapak dan ibu. Semakin hari saya semakin bingung dengan keadaan commuter line ini. Gangguan sinyal, misalnya. Gangguan sinyal ini sangat sering terjadi ketika akan mau masuk manggarai baik dari sudirman atau jakarta kota. Sehingga harus menunggu antrian yang cukup lama bahkan sangat lama ketika hanya ingin masuk manggarai. Selain manggarai, pasar minggu juga tempat "ngetem" paling sering. Saya pernah tiga kali kurang lebih, baik ketika akan masuk pasar minggu atau sedang di pasar minggu. Pemadaman listrik terjadi. Saya dan penumpang lain, terjebak didalam gerbong kereta dengan pintu terkunci rapat tak ada pendingin ruangan atau apapun. Yang masih segar diingatan saya, jumat kemaren tanggal 20 maret 2015. Saya berangkat dari stasiun gondangdia menuju bogor, saya naik kereta jam kurang lebih 22.20. Saya sampai manggarai jam 23.10, padahal seharusnya 22.30 sudah sampai. Hebat, ya? Hehe

Awalnya saya anggap ini hanya satu atau dua kali, tapi lama lama menjadi sebuah kebiasaan yang terus berulang ulang. Yang saya lebih sedih, lama-lama ini dimaklumi dan dianggap wajar. Ini, buat saya adalah tingkat paling menyedihkan dari sebuah masalah: Dianggap biasa dan wajar.  Bukan begitu? Hehe. Mungkin beberapa orang penumpang hanya memilih untuk mengeluh dan menggerutu tiap harinya. sembari bilang " Ngapain sih protes-protes? Gak akan didenger! Udahlah jangan manja" Sebagian lagi mencoba menikmati saja dengan menurunkan standar kenyamanan transportasi publik setiap harinya. Dan tidak bosan-bosannya saya mendengar "Maaf kereta anda belum bisa diberangkatkan, mohon pengertiannya atas ketidaknyamanannya" dari pengeras suara yang ada di gerbong kereta, hampir tiap hari saya dengar. Ya, hampir tiap hari.

Sampai kapan ya ini terjadi bapak dan ibu? Hehe.

Tapi dibalik itu semua, saya mencoba mengerti dan mengapresiasi perubahan perubahan yang terjadi pada perkeretaapian, khususnya commuter line. Bisa dibilang sekarang stasiun sudah rapih, bersih dan enak untuk disinggahi berlama-lama. Banyak kedai-kedai makanan, toko kelontong modern, ATM menjamur di stasiun. Ya ini semua bikin kita betah berlama lama karena banyak fasilitas yang mendorong kita untuk belanja sana-sini. Walaupun saya sebenarnya kangen makan soto ayam di pinggir jalur kereta nomor 7 di stasiun bogor. Walau amburadul dan penuh pengap, tapi saya merasa kesederhanannya itu lho. (Hehe, relatif sih.). Tapi sekali lagi perlu diakui, memang revolusinya memang benar benar terlihat di stasiun. Salut.

Tapi saya berharap sekali revolusi ini berlanjut di pelayanan keretanya itu sendiri.

Source: Kaskus
Source: Kaskus

Saya pribadi naik kereta bukan untuk berlama lama di stasiun. Jadi kalau saya pribadi tidak terlalu masalah dengan fasilitas yang ada di stasiun. Concern saya adalah bagaimana saya bisa sampai ke tempat tujuan dengan selamat dan tepat waktu. Itu saja, kalau saya. Mungkin ada beberapa teman yang sependapat dan ada yang tidak. Karena mengingat kereta yang kita pakai adalah kereta jarak pendek tapi sangat mobile sekali. Jadi kalau saya pribadi lebih memilih (jika memang diharuskan memilih) untuk pelayanan kereta yang semestinya dibandingkan dimanjakan fasilitas stasiun yang superwow. Kalau saya.

Oia mengingat 1 april harga tiket kereta dan parkir naik, saya ingin sampaikan, sesuatu dulu ketika saya kuliah saya sempat melakukan riset tentang commuter line. Saya ingin memberikan gambaran salah satu hasil riset saya yang saya lakukan dengan lembaga edukasi luar negeri. Survei saya lakukan bulan desember 2013-januari 2014, dengan sampel 500 orang dari semua stasiun yang ada di jabodetabek.

Proporsinya Weekdays: 80% , Weekend : 20%,

Peak Hours 5-9 Pagi 30% & 4-9 sore 30%. dan Peak Off: 9-4 Siang 40%.

Proporsi rute: Bogor/Depok 60%, Bekasi 25%, Serpong 10%, dan Tangerang 5%.

Hasilnya menunjukan kalau 79.1 % penumpang bersedia membayar lebih mahal asalkan  fasilitasnya sangat layak dengan harga yang dibayar karena mereka belum puas. Mungkin ini semacam angin segar bagi pemerintah karena dirasa sudah melakukan kebijakan yang tepat dan juga populis. Tapi masalahnya, apa fasilitas sekarang sudah bisa dibilang sangat layak? apakah sudah bisa dibilang, pantas? Manusiawi? Kalau saya pribadi masih harap harap cemas, karena hingga sekarang tulisan ini dibuat, layanan kereta buat saya pribadi masih kurang (maaf). Saya tidak masalah dengan berdesakannya, asal tepat waktu dan tidak mogok. Saya yakin dengan tepat waktu dan tidak mogok, masalah berdesakan bisa diatasi karena masalah desak-desakan itu berakar dari tertimbunnya penumpang di stasiun.

Wah, saya sepertinya sudah terlalu banyak berbicara hehe. Mohon koreksi kalau saya salah kata-kata dan sangat ditunggu tukar pikirannya. Saya percaya dengan rencana dinaikannya tarif kereta itu pasti pemerintah berniat membuat pelayanan lebih baik atau setidaknya pantaslah untuk pelayanan transportasi favorit publik ini. Semangat terus untuk bapak dan ibu dalam mengurus transportasi publik ini! Terlebih tagline yang diusung pemerintah kali ini adalah "Revolusi Mental". Bravo Revolusi Mental!

Best Regards,

Rifki Maulana

Nb. Ini hanya curahan hati seorang pengguna commuter line, masih banyak sekali pengguna commuterline di luar sana yang memendam keluh kesal yang mengganjal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun