Mohon tunggu...
Muhamad Rifki Maulana
Muhamad Rifki Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Just write

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sebuah Kesialan Bernama: Narsis

7 Mei 2014   19:57 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Narsis adalah sebuah kesialan yang pasti dimiliki semua manusia. Sama seperti kisah awal datangnya kata narsis tersebut. Narsis itu adalah adaptasi dari nama Narcissus, dewa yunani kuno. Narcissus yang malang ini sampai tua memandangi dirinya sendiri di sungai Styx. Memuja dirinya sampai mati. Benar benar sampai akhir

Anak dari cephissus (Dewa sungai) dan Liriope (Bidadari) ini terkenal dengan ketampanannya. Banyak cinta wanita-wanita ditolak olehnya. Tapi kedua orang tuanya pasti ingat betul dengan ramalan dari seorang ahli nujum yang bilang kalau narcissus akan sejahtera dan panjang umurnya asalkan tidak melulu melihat dirinya sendiri.

Ramalan itu sejalan dengan ditolaknya cinta Echo (Bidadari) oleh Narcissus yang membuat Nemesis marah besar dan mengutuk Narcissus akan jatuh cinta dengan bayangannya sendiri. Dan hingga akhir hayatnya, Narcissus terus mengagumi dan mencintai bayangannya sendiri yang dipantulkan oleh air di sungai Styx. Kasihan.

Kasihan memang orang yang terus memuja dirinya sendiri.Yang ia lihat hanyalah dirinya sendiri dan egonya, tidak ada tempat untuk yang lain. Yang ia lihat hanyalah kehebatan dirinya sendiri. Walaupun kehebatannya tidak banyak, tapi dia ulang terus di otaknya bahwa dia paling hebat.Tiada dua, apalagi banyak.

Tapi kata sigmund, narsisme sudah ada sejak lahir di diri manusia itu sendiri. Kadarnya yang berbeda di setiap orang. Ada yang banyak, bahkan ada yang sedikit. Yang banyak sudah pasti bikin muak. Yang sedikit juga tidak bisa dibilang baik. Tak peduli setinggi apapun pendidikan seseorang, tak peduli setampan apapin seseorang, tak peduli sekaya apapun seseorang, Narsis akan selalu terselip diantara basahnya lidah mereka. Pujian terhadap diri sendiri pasti akan selalu terbawa sampai ludah mereka mengering.

Entah bagaimana narsis ini harus disikapi. Mungkin cara menyikapinya sama halnya seperti kita menyikapi sebuah kesialan. Pilihannya hanya ada dua, mengutuki kesialan tersebut atau mencoba belajar dari kesialan tersebut. Seorang narsis pun bisa untuk dikutuki, tapi bukan tidak mungkin untuk belajar dari-nya.

Yang jelas segala yang berlebihan dalam memuja akan berakhir dengan kesendirian seperti sebagaimana kisah narcissus itu sendiri. Menunggu mati dengan terus memuja dirinya sendiri.

Kasihan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun